Senin, 07 Juli 2008

ETIKA dalam Pendidikan Indonesia

ETIKA dalam Pendidikan Indonesia

Beranjak dari berbagai pemahaman mengenai paradigma pengajaran, hingga saat ini saya belum ingin mengatakan pengajaran itu sebagai pendidikan, Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan, perlu kiranya kita menengok ke dalam diri kita, mengingat kembali pengalaman-pengalaman saat kita diajar. Sejauh ini, pola pengajaran pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia cenderung mengarahkan peserta ajar untuk sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya baik.

Hal tersebut diperparah dengan diterapkannya sistem pemeringkatan nilai peserta ajar di akhir semester. “Kamu ranking berapa? Aku rangking satu dong.” Sebuah kalimat yang biasa kita dengar ketika pembagian rapor dilakukan. Ditambah lagi dengan ungkapan, “Anak ibu rangking berapa?” atau “Kamu tuh gimana sih, masa teman kamu bisa rangking 1 kamu gak bisa?”. Hal ini menggambarkan kepada bahwa justru pola pengajaran Indonesia saat ini lebih mengajarkan peserta ajarnya untuk berkompetisi yang pada akhirnya menimbulkan perilaku-perilaku buruk seperti mencontek, bekerja sama ketika ujian, dan perilaku lain yang pada intinya mengarah pada penghalalan segala cara agar memperoleh nilai yang baik, agar tidak dimarahi orang tua, dan agar diperhatikan pengajar yang pada akhirnya mereduksi proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan.

Pada sebuah diskusi mengenai adaptasi perubahan iklim melalui sektor pendidikan di Bogor beberapa waktu yang lalu, seorang peserta diskusi memaparkan pengalamannya belajar di sebuah institusi perguruan tinggi yang banyak mengajarkan tentang aspek-aspek lingkungan, namun dia merasa sistem pengajaran yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut belum, bila tidak ingin dikatakan tidak, mampu menumbuhkan dan mengembangkan kepekaan dan kesadaran peserta ajar pada lingkungan walaupun ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan. Lalu apa dan atau siapa yang salah? Objektifikasi peserta ajar, ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasi nilai-nilai etika lingkungan, sistem pengajaran, atau kurikulumnya yang salah?

Objektifikasi peserta ajar. Hal ini dimengerti bahwa selama ini, peserta ajar adalah objek atas transfer ilmu dari subjek yang bernama pengajar. Peserta ajar ,saat ini, jarang sekali dilibatkan dalam diskusi-diskusi atau diajak berdiskusi mengenai hal-hal yang mengarah pada pengembangan kreatifitas, kekritisan, dan kesadaran peserta ajar atas contoh- contoh kasus yang, harapannya, disampaikan oleh pengajar. Pengajar seperti melakukan teater monolog di mana peserta ajar duduk termangu menonton pengajarnya bermonolog.

Ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan. Tingkat kepakaran pengajar pada suatu bidang kadang kala membuat sang pengajar enggan untuk mentransformasikan hal-hal di luar bidang yang dikuasainya, terlebih lagi hal itu dianggap bertentangan dengan bidang yang digelutinya selama ini. Selain itu, hal tersebut pun terjadi karena sang pengajar pun belum memperoleh pengetahuan, atau belum mengaktualisasikan, nilai-nilai etika lingkungan, sehingga tentunya ia tidak mampu untuk mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan kepada peserta ajar.

Sistem pengajaran. Sebagaimana telah dijelaskan pada pengantar tulisan ini, sistem pengajaran di Indonesia saat ini hanya mampu membentuk peserta ajar menjadi robot-robot di mana orangtua sebagai pengendalinya dan pengajar sebagai benda yang memancarkan gelombang (kurikulum) untuk akhirnya ditangkap oleh sensor yang ada di otak peserta ajar. Akan baik kiranya bila orang tua mengarahkan anaknya untuk mengembangkan, kepekaan, kesadaran, wawasan dan kreatifitas anaknya terhadap nilai-nilai lingkungan dan didorong pula oleh pengajar dengan memberikan materi yang merangsang peserta ajarnya untuk kritis dan kreatif. Namun pada kenyataannya, saat ini hal itu masih sangatlah jarang ditemui, apalagi bila kita melihat di sekolah-sekolah maupun perguruan-perguruan tinggi negeri.

Kurikulumnya yang salah? Lancang memang bila saya memasuki wilayah yang notabene dikuasai oleh pemerintah dan lebih lancang lagi sepertinya bila saya menganggap kesalahan kurikulum ini adalah kesalahan pemerintah. Penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada tanggal 3 Juni 2005 merupakan langkah awal yang baik dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah awal terintegrasinya nilai-nilai etika lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun perlu kita ingat bahwa apapun kebijakan pemerintah yang dibuat, bila tidak diselaraskan dengan pencerabutan keadaan struktural sistem pendidikan Indonesia yang telah begitu mengakar dan sulit diubah, tidak akan mampu mengubah paradigma pendidikan Indonesia yang masih hanya mengedepankan transfer pengetahuan hingga saat ini.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Tentunya hal tersebut berpijak pada siapa kita. Bagian dari birokrasikah? Bagian dari akademisikah? Bagian dari orang tuakah? Bagian dari peserta ajarkah? Bagian dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kemasyarakatankah? Atau kita hanya menganggap sebagai seorang individu tanpa label? Apapun kita, lakukanlah langkah dan gerakan yang terbaik sesuai dengan label masing-masing agar nilai-nilai etika lingkungan dapat tertransformasi dengan baik sehingga bangsa Indonesia dan bangsa Bumi, serta makhluk hidup lainnya dapat melestarikan peradabannya.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga kita mampu menjadi bangsa yang terdidik dan mampu menjadi pendidik yang baik untuk anak - cucu kita.

“Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952)

ESTETIKA DALM PENDIDIKAN
















PENGERTIAN "estetika"? semula hanya terbatas pada renungan filsafat tentang seni. Ia membicarakan hal ikhwal seni keindahan dan cita rasa seni. Ajaran Plato mengatakan bahwa seni adalah pencarian dan penemuan secara spontan, wajar dan penuh kejujuran. Seni berkaitan dengan penemuan keselarasan (harmoni) yang sebenarnya ada pada diri semua orang. Seni berada pada alam pratendensi, diluar alam dunia aktual. Hekekat seni teletak dalam angan-angan, di dalam gambaran keindahan abadi yang sempurna. Pandangan Plato tersebut tergolong dalam estetika lama (Yunani) sebab perkembangannya dikemudian hari membuat estetika tidak hanya membicarakan masalah keindahan saja.Namun juga mencakup seni dan pengalaman estetis, karena baik seni dan keindahan dipandang sebagai gejala (fenomena) yang kongkrit dan dapat ditelaah secara empirit dan sistimatik ilmiah.

Pada umumnya orang beranggapan bahwa yang indah adalah seni atau bahwa seni adalah selalu indah, dan bahwa yang tidak indah bukanlah seni. Pandangan semacam ini akan menyulitkan masyarakat dalam mengapresiasi seni sebab seni tidak selalu harus indah, demikian pendapat Herbert Read.

Konsep bahwa seni selalu indah, bahwa seni adalah idealisasi dari alam oleh manusia (ars homo additus nature) seperti yang dianut kebudayaan Yunani kuno sebenarnya adalah salah satu dari yang ada. Ia berbeda dengan ideal seni Cina dan seni India yang cendrung kepada bentuk yang metafisik, abstrak, religius dan lebih bertumpu pada intuisi daripada rasio. Juga berlainan daripada ideal seni bangsa primitif, yang lebih dekat dengan perasaan takut pada gejala alam yang misterius serta keyakinan mereka akan adanya kekuatan gaib yang mengatur hidup mereka.

Seperti karya seni patung aprodite Yunani, patung Budha dari India dan patung berhala dari Irian Jaya adalah mengungkapkan ideal bentuk yang berbeda, sekalipun ketiganya tergolong cabang seni yang sama. Penampilan bentuk aprodite yang serba indah sempurna dan realistis, bentuk Budha yang wajar religius, maupun bentuk patung manusia primitif yang serba menkutkan dan tidak realistis (abstrak) semuanya secara sah dapat digolongkan menjadi karya seni.

Pada dasarnya seni bukanlah sekedar ekspresi dari setiap ideal yang spesifik dalam bentuk yang plastis. Seni adalah ekspresi dari semua ideal yang dapat diungkapkan oleh seniman kedalam tata bentuk plastis yang berkualitas estetis, baik yang serba menyenangkan maupun menakutkan, mengharukan bahkan memuakkan. Nampak bahwa seni tidak selalu mesti indah dan menyenangkan, keindahan harus diartikan sebagai kualitas abstrak yang merupakan landasan elementer bagi kegiatan artistik. Eksponen penting dalam kegiatan ini adalah manusia sedangkan kegiatannya diarahkan untuk menghayati serta menjiwai tata kehidupan (diantaranya termasuk kehidupan estetis).

Dalam peristiwa kegiatan terjadi tiga tahapan, pertama; proses pengamatan perseptual (indrawi) terhadap kualitas materi dari unsur-unsur gerak, warna suara, bentuk dan reaksi-reaksi fisiologis lain yang kompleks. Yang kedua; tata susunan dari kualitas materi tersebut yang tejalin secara organik dalam tatanan bentuk dan pola yang harmonis. Melalui kedua tahapan penghayatan tersebut muncullah kesadaran estetis.

Tahap yang ketiga adalah yang muncul apabila tata susunan yang harmonis tersebut dengan sengaja diciptakan untuk berkorespondensi dengan perasaan (emosi). Maka dapat dikatakan, bahwa emosi atau perasaan itu akan memberikan ekspresi sebagai unsur komunikasi . dalam hal inilah dikatakan bahwa seni adalah ekspresi dan bahwa tujuan sebenarnya dari seni adalah untuk mengkomunikasikan perasaan melalui tatanan bentuk plastis yang harmonis. Sedangkan arti dari keindahan, sebenarnya lebih mengacu pada perasaan yang dikomunikasikan lewat tata bentuk itu.

Sebenarnya unsur permanen dalam diri manusia yang berkorespondensi dengan unsur-unsur bentuk dari seni adalah kepekaan (perasaan) estetis. Jadi kepekaan estetis ini bersifat tetap, sedangkan yang bervariasi adalah pengertian-pengertian yang dibentuk manusia atas abstraksi terhadap impresi-impresi dari indrawi kehidupan unsur-unsur variasi dalam seni yakni apa yang dimaksud dengan ekspresi. Oleh karena ekspresi dipandang sebagai ungkapan gejala kejiwaan yaitu "The transformation af an element of sensation into the qualy of thing"? demikian G. santayana (The sense of beauty). Apabila orang melihat sesuatu obyek mengandung keindahan maka ia melihat dan merasakan adanya tatanan nilai yang harmonis baik dalam tata bentuk, tata warna, proporsi maupun susunan dari obyek.

Keindahan adalah kesadaran nilai yang muncul di dalam presepsi kita yang muncul sewaktu menanggapi ekspresi sesuatu obyek. Keindahan adalah unsur emosional sesuatu perasaan terpesona yang menyenangkan pada diri kita, yang ditimbulkan dari unsur-unsur karya keindahan merupakan kesadaran yang bersifat apresiatif, suatu sensasi yang membangkitkan kekaguman dan penghargaan.

Dari uraian diatas dapat diringkaskan bahwa sebenarnya terdapat konsep tentang "keindahan"?, yaitu konsep obyektif dan konsep subyektif.

Konsep obyektif beranggapan bahwa keindahan adalah sifat atau kualitas yang secara intern melekat pada suatu karya yang tidak tergantung kepada proses pengamatan/penafsiran. Keindahan adalah ciri dari suatu obyek yang ditimbulkan oleh adanya keserasian (harmoni) diantara bagian-bagiannya, sehingga memenuhi prinsip-prinsip tertentu.

Konsep subyektif menganggap bahwa keindahan sebenarnya hanya tanggapan perasaan dalam diri kita sewaktu mengamati karya yang harmonis tersebut. Jadi sangat tergantung kepada tanggapan kita masing-masing untuk menilai apakah karya tersebut indah atau tidak.

Teori/konsep Yunani lama lebih cendrung kepada konsep obyektif, dimana keindahan karya dapat dicapai apabila bagian-bagiannya dapat diatur secara harmonis berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Itulah sebabnya lahir "The great theory of beauty"? yang menerapkan prinsip matematika sebagi acuan keindahan arsitektur Yunani. Kita kenal apa yang disebut perbandingan sebagai acuan yang menetapkan standar keindahan karya, yang dapat menimbulkan perasaan puas untuk sementara waktu.

Sementara itu konsep seni Herbert Read dan Santayana berpegang kepada konsep modern, yang beranggapan bahwa "seni tidak selau indah menyenangkan"? ideal keindahan dapat bervariasi dan sangat tergantung kepada ideal dari tata nilai kehidupan. Keindahan adalah nilai (value) yang dibentuk citarasa perasaan manusia yang bersifat subyektif, sebagai tanggapan emosional terhadap kualitas bentuk suatu karya.

Adanya dua konsep yang saling berlawanan (obyektif-subyektif) yang saling berlawanan itu melahirkan konsep lain yang bersifat kompromi, yaitu teori "Einfhulung"? dari Friederick Vischer. Teori ini berasumsi bahwa dalam proses pengamatan suatu karya seni, kita sebenarnya tanpa disadari telah menempatkan diri kita sendiri ke dalam karya seni tersebut. Einfhulung berarti keadaan merasakan diri sendiri atau memproyeksikan diri ke dalam obyek dalam peristiwa ini kita menghayati serta menikmati (secara transdental) kualitas bentuk karya sehingga menimbulkan sensasi kenikmatan serta perasaan yang menyenangkan. Proyeksi perasaan dari pengamat bersifat subyektif, sementara kualitas tata bentuk obyek yang diamati bersifat obyektif. Dalam peristiwa ini telah terjadi interaksi perseptual antara kualitas obyektif karya dengan subyektif dari pengamat. Pada dasarnya seni memang sengaja diciptakan untuk berkorespondensi dan berinteraksi dengan perasaan estetis manusia, sehingga menimbulkan kesadaran apresiasi aktif baik yang menyenangkan, mengharukan, menggelikan atau menakutkan bahkan memuakkan. Dengan begitu seniman dituntut kreatif dan komunikatif.



Selasa, 01 Juli 2008

kejadian unik di sekolah

30 Siswi SMK Harapan Massa Depok Kesurupan
Jum'at, 10 Agustus 2007 | 13:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sebanyak 30 siswi Sekolah Menengah Kejuruan Farmasi Harapan Massa Kecamatan Beji, Depok, mengalami kesurupan saat mengikuti proses kegiatan belajar mengajar, Jumat (10/8).


Wakil Kepala Sekolah SMK Farmasi Harapan Massa, Surfi Setiadi, menjelaskan sebenarnya kesurupan terjadi sejak Kamis (9/8) sore, saat siswi sekolah itu berlatih paskibra untuk persiapan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, pada 17 Agustus nanti.

"Saat itu (Kamis) ada tiga siswi yang tiba-tiba aneh dan kesurupan," kata Surfi kepada wartawan di SMK Harapan Massa yang berlokasi di Perumahan Depok Indah II Blok 6 Nomor 15, Beji, Depok.

Kesurupan massal berlanjut pada Jumat pagi pukul 07.15. Menurut Surfi, sebanyak 30 siswi secara bergelombang mengalami kesurupan. Mereka berteriak dan mengamuk tidak karuan.

Sekolah mendatangkan para ustadz untuk memulihkan para siswi yang kesurupan. Para guru dan siswa laki-laki juga ikut membantu menenangkan suasana yang saat itu tampak kacau.

Berdasarkan pengamatan Tempo, ada lima siswi yang berteriak histeris sambil meronta-ronta saat dipegangi rekan-rekan dan gurunya. Bahkan, ada diantara mereka yang terjatuh pingsan dan dipapah menuju ruang sekolah.

Ada kejadian unik. Seorang siswi yang kesurupan menjerit dan mengamuk ketika seorang wartawan hendak mengabadikan kejadian itu dengan kameranya. Saat wartawan menjepret kameranya, si siswi tadi langsung mengumpat dan meminta si wartawan keluar dari area sekolah. Suasana semakin kacau lantaran siswi lainnya masih kesurupan. Sesekali mengamuk.

Kesurupan massal mengundang rasa penasaran masyarakat. Puluhan warga setempat berdatangan menyaksikan kejadian itu. Anggota Polsek Beji ikut mengamankan area sekolah. Suasana mulai tenang pada pukul 11.30 menjelang Shalat Jumat.

Menurut keterangan yang dihimpun Tempo, kesurupan massal di sekolah itu dipicu antara lain karena adanya pembangunan gedung dua lantai di area sekolah itu, tanpa disertai acara syukuran.

Ibu Linda, 60 tahun, warga yang bermukim di sekitar sekolah itu menuturkan, dalam setahun pasti terjadi kesurupan yang menimpa siswa SMK Farmasi Harapan Massa. "Saya hitung sudah empat kali kesurupan tahun ini," kata Linda. Selain itu, kata Linda, ada pohon bacang di area sekolah itu yang diduga dihuni makhluk halus sebangsa jin yang merasa terusik.Sandy Baskoro

nilai-nilai pendidikan di indonesia

Pendidikan di Indonesia Belum Menyentuh Pembangunan Karakter Bangsa

Pembangunan pendidikan yang kini berjalan, nampaknya belum memberikan hasil yang signifikan dalam membawa masyarakat ke arah yang lebih baik dalam hal membangun
karakter bangsa. Sulitnya memberantas KKN, pelecehan terhadap nilai-nilai demokratisasi, merendahnya sensivitas sosial dan lingkungan, semuanya merupakan contoh kasus yang mengemuka di hadapan kita semua.

Demikian diungkapkan Wakil Gubernur Jawa Barat, Nu?man Abdul Hakim, dihadapat 700 peserta Seminar bertajuk Urgensi Kebijakan Strategis Pendidikan Islam dalam
Membangun Karakter Bangsa, di Aula Musaddadiyah Garut, Sabtu (16/12). Dihadiri Dirjen Pendidikan IslamYahnya Umar, Phd, Kakanwil Depag Propinsi Jawa Barat Muaimin Luthfie, serta Kadisdik Kabupaten Garut Dr.h. Maman Rusmana, M.Pd, serta para undangan lainnya.

Di sisi lain, sambung Nu?man, arus budaya luar yang mengimbas bangsa kita, secara tidak sadar menggiring masyarakat kepada perilaku dan gaya hidup yang serba
berlebihan, seperti hedonisme dan konsumerisme. ?Tidak heran jika Gap kaya-miskin semakin lebar?, Ujrnya.

Secara materi, mungkin unsur-unsur karakter bangsa sudah yang tertuang dalam kurikulum, namun dalam konteks proses pendidikan untuk memberntuk karakter bangsa
secara benar tampaknya selama ini kurang atau bahkan tidak diperhatikan dengan seksama. Contohnya, pendidikan Pancasila yang diwujudkan dalam mata ajaran sejak sekiolah dasar hingga perguruan tinggi. Penyampaian yang serba verbalitas, secara signifikan ternnyata tidak membentuk karakter bangsa.

Mengutif dari saran UNESCO dalam memahami fenomena tersebut, tambah Nu?man, bahwa pendidikan mesti mengandung tiga unsur, yaitu : unsur Learn to Know (belajar
untuk tahu) dan Learn to Do (belajar untuk berbuat) yang lebih terarah membentuk having agar SDM memiliki kualitas dalam pengetahuan dan skill, sedangkan unsur
ketiga learn to live together yang lebiih mengarah kepada being menuju pembentukan karakter bangsa.

Pemikiran tersebut, jelas Nu?man, sejalan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, diarahkan kepada pembentukan manusia Indonesia yang berilmu pengetahuan, berakhlak mulia dan berkepribadian tinggi.

Menurut Nu?man, dalam kaitannya sebenarnya ada nilai-nilai ajaran moral yang lebih luhur berasal dari ajaran samawi, diturunkan dalam kemasan yang lengkap dan sempurna. Nilai-nilai yang diajarkan tiada lain diantaranya nilai kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan kepedulian terhadap sesama. Nilai-nilai itu terangkum dalam ajaran / pendidikan Islam.

Oleh karena itu, jika dicermati, nilai-nilai itu menjadi sangat penting dalam rangka membangkitkan rasa nasionalisme, penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara, pemahaman hak asasi secara benar, menghargai perbendaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, serta pengembangan sensitivitas
atau kepedulian sosial dan lingkungan, semuanya adalah unsur pendidikan Islam melalui belajar untuk hidup bersama.

Sementara itu Ketua Yauasan Al Musaddadiyah, KH. Cecep Abdul Halim, Lc, selaku penyelenggara seminar mengatakan, salah satu model pendidikan di Indonesia yang
sudah cukup mengakar di masyarakat pedesaan khususnya pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didasarkan atas kekuatan spiritual Islam telah mampu
memberi saksi perubahan masyarakat ke arah pembangunan sesuai kewibawaan tradisional kepemimpinan dan kekhasan setiap pondok pesantren itu sendiri.

Kegiatan ini, ujar cecep Abduk Halim, dilakukan atas dasar berbagai persoalan dasar realitasyang terjadi di lingkungan pendidikan kita yang harus segera kita sikapi secara bersama, bekerja sama dan kebersamaan dalam memformat alternatif solusi. Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 31 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang semestinya ditopan infrastuktur dan sufrastruktur pendidikan yang memberdayakan dan memandirikan.

Namun seringkali terjadi kesenjangan antara pendidikan agama dan umum, status kelembagaan, sarana dan prasarana, bahkan nampak instansi pemerintahan dari
Depdiknas dan Depag Bidang Pendidikan Islam yang bertanggung jawab dalam pendidikan anak bangsa, satu sama lain seakan melempar tanggung jawab atas layanan
pendidikan di setiap warga. Untuk itu Yayasan Al - Musadaddiyah Garut, sebagai lembaga pendidikan dengan anak didiknya mulai TK hingga perguruan tinggi mecapai
5.000 orang, selain lembaga dakwah dan sosial kemasyarakatan, diharapkan dapat memberikan alternatif bagi penguatan kelembagaan pendidikan Islam khususnya di lingkungan Depag yang mampu memberikan pelayanan bidang pendidikan bagi warga masyarakat serta bagi peningkatan kualitas pendidikan bangsa. Setidaknya upaya
ini dapat mendukung akselerasi pencapaian visi Jawa Barat kshusunya bidang pendidikan menjadi propinsi terunggul Tahuin 2010 melalui penuntasan Wajardikdas 9 tahun.

Seminar ini diikuti perwakilan dari wilayah priangan terdiri dari alim ulama, pimpinan ponpes, kepala madrasah (mulai tingkat MI, MTs, MA) dan stake holder pendidikan Islam yang diwaikli beberapa kabupaten/kota (Bandung, Cimahi, kabupaten Sumedang, Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Garut).

Diharapkan dengan kegiatan ini dapat terinspirasi dan termotivasi dalam melakukan aksi konstruktif sebagai langkah strategis dalam penguatan kelembagaan Islam untuk menjawab problematikan bangsa dan negara.