Senin, 07 Juli 2008

ETIKA dalam Pendidikan Indonesia

ETIKA dalam Pendidikan Indonesia

Beranjak dari berbagai pemahaman mengenai paradigma pengajaran, hingga saat ini saya belum ingin mengatakan pengajaran itu sebagai pendidikan, Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan, perlu kiranya kita menengok ke dalam diri kita, mengingat kembali pengalaman-pengalaman saat kita diajar. Sejauh ini, pola pengajaran pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia cenderung mengarahkan peserta ajar untuk sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya baik.

Hal tersebut diperparah dengan diterapkannya sistem pemeringkatan nilai peserta ajar di akhir semester. “Kamu ranking berapa? Aku rangking satu dong.” Sebuah kalimat yang biasa kita dengar ketika pembagian rapor dilakukan. Ditambah lagi dengan ungkapan, “Anak ibu rangking berapa?” atau “Kamu tuh gimana sih, masa teman kamu bisa rangking 1 kamu gak bisa?”. Hal ini menggambarkan kepada bahwa justru pola pengajaran Indonesia saat ini lebih mengajarkan peserta ajarnya untuk berkompetisi yang pada akhirnya menimbulkan perilaku-perilaku buruk seperti mencontek, bekerja sama ketika ujian, dan perilaku lain yang pada intinya mengarah pada penghalalan segala cara agar memperoleh nilai yang baik, agar tidak dimarahi orang tua, dan agar diperhatikan pengajar yang pada akhirnya mereduksi proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan.

Pada sebuah diskusi mengenai adaptasi perubahan iklim melalui sektor pendidikan di Bogor beberapa waktu yang lalu, seorang peserta diskusi memaparkan pengalamannya belajar di sebuah institusi perguruan tinggi yang banyak mengajarkan tentang aspek-aspek lingkungan, namun dia merasa sistem pengajaran yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut belum, bila tidak ingin dikatakan tidak, mampu menumbuhkan dan mengembangkan kepekaan dan kesadaran peserta ajar pada lingkungan walaupun ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan. Lalu apa dan atau siapa yang salah? Objektifikasi peserta ajar, ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasi nilai-nilai etika lingkungan, sistem pengajaran, atau kurikulumnya yang salah?

Objektifikasi peserta ajar. Hal ini dimengerti bahwa selama ini, peserta ajar adalah objek atas transfer ilmu dari subjek yang bernama pengajar. Peserta ajar ,saat ini, jarang sekali dilibatkan dalam diskusi-diskusi atau diajak berdiskusi mengenai hal-hal yang mengarah pada pengembangan kreatifitas, kekritisan, dan kesadaran peserta ajar atas contoh- contoh kasus yang, harapannya, disampaikan oleh pengajar. Pengajar seperti melakukan teater monolog di mana peserta ajar duduk termangu menonton pengajarnya bermonolog.

Ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan. Tingkat kepakaran pengajar pada suatu bidang kadang kala membuat sang pengajar enggan untuk mentransformasikan hal-hal di luar bidang yang dikuasainya, terlebih lagi hal itu dianggap bertentangan dengan bidang yang digelutinya selama ini. Selain itu, hal tersebut pun terjadi karena sang pengajar pun belum memperoleh pengetahuan, atau belum mengaktualisasikan, nilai-nilai etika lingkungan, sehingga tentunya ia tidak mampu untuk mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan kepada peserta ajar.

Sistem pengajaran. Sebagaimana telah dijelaskan pada pengantar tulisan ini, sistem pengajaran di Indonesia saat ini hanya mampu membentuk peserta ajar menjadi robot-robot di mana orangtua sebagai pengendalinya dan pengajar sebagai benda yang memancarkan gelombang (kurikulum) untuk akhirnya ditangkap oleh sensor yang ada di otak peserta ajar. Akan baik kiranya bila orang tua mengarahkan anaknya untuk mengembangkan, kepekaan, kesadaran, wawasan dan kreatifitas anaknya terhadap nilai-nilai lingkungan dan didorong pula oleh pengajar dengan memberikan materi yang merangsang peserta ajarnya untuk kritis dan kreatif. Namun pada kenyataannya, saat ini hal itu masih sangatlah jarang ditemui, apalagi bila kita melihat di sekolah-sekolah maupun perguruan-perguruan tinggi negeri.

Kurikulumnya yang salah? Lancang memang bila saya memasuki wilayah yang notabene dikuasai oleh pemerintah dan lebih lancang lagi sepertinya bila saya menganggap kesalahan kurikulum ini adalah kesalahan pemerintah. Penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada tanggal 3 Juni 2005 merupakan langkah awal yang baik dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah awal terintegrasinya nilai-nilai etika lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun perlu kita ingat bahwa apapun kebijakan pemerintah yang dibuat, bila tidak diselaraskan dengan pencerabutan keadaan struktural sistem pendidikan Indonesia yang telah begitu mengakar dan sulit diubah, tidak akan mampu mengubah paradigma pendidikan Indonesia yang masih hanya mengedepankan transfer pengetahuan hingga saat ini.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Tentunya hal tersebut berpijak pada siapa kita. Bagian dari birokrasikah? Bagian dari akademisikah? Bagian dari orang tuakah? Bagian dari peserta ajarkah? Bagian dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kemasyarakatankah? Atau kita hanya menganggap sebagai seorang individu tanpa label? Apapun kita, lakukanlah langkah dan gerakan yang terbaik sesuai dengan label masing-masing agar nilai-nilai etika lingkungan dapat tertransformasi dengan baik sehingga bangsa Indonesia dan bangsa Bumi, serta makhluk hidup lainnya dapat melestarikan peradabannya.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga kita mampu menjadi bangsa yang terdidik dan mampu menjadi pendidik yang baik untuk anak - cucu kita.

“Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952)

ESTETIKA DALM PENDIDIKAN
















PENGERTIAN "estetika"? semula hanya terbatas pada renungan filsafat tentang seni. Ia membicarakan hal ikhwal seni keindahan dan cita rasa seni. Ajaran Plato mengatakan bahwa seni adalah pencarian dan penemuan secara spontan, wajar dan penuh kejujuran. Seni berkaitan dengan penemuan keselarasan (harmoni) yang sebenarnya ada pada diri semua orang. Seni berada pada alam pratendensi, diluar alam dunia aktual. Hekekat seni teletak dalam angan-angan, di dalam gambaran keindahan abadi yang sempurna. Pandangan Plato tersebut tergolong dalam estetika lama (Yunani) sebab perkembangannya dikemudian hari membuat estetika tidak hanya membicarakan masalah keindahan saja.Namun juga mencakup seni dan pengalaman estetis, karena baik seni dan keindahan dipandang sebagai gejala (fenomena) yang kongkrit dan dapat ditelaah secara empirit dan sistimatik ilmiah.

Pada umumnya orang beranggapan bahwa yang indah adalah seni atau bahwa seni adalah selalu indah, dan bahwa yang tidak indah bukanlah seni. Pandangan semacam ini akan menyulitkan masyarakat dalam mengapresiasi seni sebab seni tidak selalu harus indah, demikian pendapat Herbert Read.

Konsep bahwa seni selalu indah, bahwa seni adalah idealisasi dari alam oleh manusia (ars homo additus nature) seperti yang dianut kebudayaan Yunani kuno sebenarnya adalah salah satu dari yang ada. Ia berbeda dengan ideal seni Cina dan seni India yang cendrung kepada bentuk yang metafisik, abstrak, religius dan lebih bertumpu pada intuisi daripada rasio. Juga berlainan daripada ideal seni bangsa primitif, yang lebih dekat dengan perasaan takut pada gejala alam yang misterius serta keyakinan mereka akan adanya kekuatan gaib yang mengatur hidup mereka.

Seperti karya seni patung aprodite Yunani, patung Budha dari India dan patung berhala dari Irian Jaya adalah mengungkapkan ideal bentuk yang berbeda, sekalipun ketiganya tergolong cabang seni yang sama. Penampilan bentuk aprodite yang serba indah sempurna dan realistis, bentuk Budha yang wajar religius, maupun bentuk patung manusia primitif yang serba menkutkan dan tidak realistis (abstrak) semuanya secara sah dapat digolongkan menjadi karya seni.

Pada dasarnya seni bukanlah sekedar ekspresi dari setiap ideal yang spesifik dalam bentuk yang plastis. Seni adalah ekspresi dari semua ideal yang dapat diungkapkan oleh seniman kedalam tata bentuk plastis yang berkualitas estetis, baik yang serba menyenangkan maupun menakutkan, mengharukan bahkan memuakkan. Nampak bahwa seni tidak selalu mesti indah dan menyenangkan, keindahan harus diartikan sebagai kualitas abstrak yang merupakan landasan elementer bagi kegiatan artistik. Eksponen penting dalam kegiatan ini adalah manusia sedangkan kegiatannya diarahkan untuk menghayati serta menjiwai tata kehidupan (diantaranya termasuk kehidupan estetis).

Dalam peristiwa kegiatan terjadi tiga tahapan, pertama; proses pengamatan perseptual (indrawi) terhadap kualitas materi dari unsur-unsur gerak, warna suara, bentuk dan reaksi-reaksi fisiologis lain yang kompleks. Yang kedua; tata susunan dari kualitas materi tersebut yang tejalin secara organik dalam tatanan bentuk dan pola yang harmonis. Melalui kedua tahapan penghayatan tersebut muncullah kesadaran estetis.

Tahap yang ketiga adalah yang muncul apabila tata susunan yang harmonis tersebut dengan sengaja diciptakan untuk berkorespondensi dengan perasaan (emosi). Maka dapat dikatakan, bahwa emosi atau perasaan itu akan memberikan ekspresi sebagai unsur komunikasi . dalam hal inilah dikatakan bahwa seni adalah ekspresi dan bahwa tujuan sebenarnya dari seni adalah untuk mengkomunikasikan perasaan melalui tatanan bentuk plastis yang harmonis. Sedangkan arti dari keindahan, sebenarnya lebih mengacu pada perasaan yang dikomunikasikan lewat tata bentuk itu.

Sebenarnya unsur permanen dalam diri manusia yang berkorespondensi dengan unsur-unsur bentuk dari seni adalah kepekaan (perasaan) estetis. Jadi kepekaan estetis ini bersifat tetap, sedangkan yang bervariasi adalah pengertian-pengertian yang dibentuk manusia atas abstraksi terhadap impresi-impresi dari indrawi kehidupan unsur-unsur variasi dalam seni yakni apa yang dimaksud dengan ekspresi. Oleh karena ekspresi dipandang sebagai ungkapan gejala kejiwaan yaitu "The transformation af an element of sensation into the qualy of thing"? demikian G. santayana (The sense of beauty). Apabila orang melihat sesuatu obyek mengandung keindahan maka ia melihat dan merasakan adanya tatanan nilai yang harmonis baik dalam tata bentuk, tata warna, proporsi maupun susunan dari obyek.

Keindahan adalah kesadaran nilai yang muncul di dalam presepsi kita yang muncul sewaktu menanggapi ekspresi sesuatu obyek. Keindahan adalah unsur emosional sesuatu perasaan terpesona yang menyenangkan pada diri kita, yang ditimbulkan dari unsur-unsur karya keindahan merupakan kesadaran yang bersifat apresiatif, suatu sensasi yang membangkitkan kekaguman dan penghargaan.

Dari uraian diatas dapat diringkaskan bahwa sebenarnya terdapat konsep tentang "keindahan"?, yaitu konsep obyektif dan konsep subyektif.

Konsep obyektif beranggapan bahwa keindahan adalah sifat atau kualitas yang secara intern melekat pada suatu karya yang tidak tergantung kepada proses pengamatan/penafsiran. Keindahan adalah ciri dari suatu obyek yang ditimbulkan oleh adanya keserasian (harmoni) diantara bagian-bagiannya, sehingga memenuhi prinsip-prinsip tertentu.

Konsep subyektif menganggap bahwa keindahan sebenarnya hanya tanggapan perasaan dalam diri kita sewaktu mengamati karya yang harmonis tersebut. Jadi sangat tergantung kepada tanggapan kita masing-masing untuk menilai apakah karya tersebut indah atau tidak.

Teori/konsep Yunani lama lebih cendrung kepada konsep obyektif, dimana keindahan karya dapat dicapai apabila bagian-bagiannya dapat diatur secara harmonis berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Itulah sebabnya lahir "The great theory of beauty"? yang menerapkan prinsip matematika sebagi acuan keindahan arsitektur Yunani. Kita kenal apa yang disebut perbandingan sebagai acuan yang menetapkan standar keindahan karya, yang dapat menimbulkan perasaan puas untuk sementara waktu.

Sementara itu konsep seni Herbert Read dan Santayana berpegang kepada konsep modern, yang beranggapan bahwa "seni tidak selau indah menyenangkan"? ideal keindahan dapat bervariasi dan sangat tergantung kepada ideal dari tata nilai kehidupan. Keindahan adalah nilai (value) yang dibentuk citarasa perasaan manusia yang bersifat subyektif, sebagai tanggapan emosional terhadap kualitas bentuk suatu karya.

Adanya dua konsep yang saling berlawanan (obyektif-subyektif) yang saling berlawanan itu melahirkan konsep lain yang bersifat kompromi, yaitu teori "Einfhulung"? dari Friederick Vischer. Teori ini berasumsi bahwa dalam proses pengamatan suatu karya seni, kita sebenarnya tanpa disadari telah menempatkan diri kita sendiri ke dalam karya seni tersebut. Einfhulung berarti keadaan merasakan diri sendiri atau memproyeksikan diri ke dalam obyek dalam peristiwa ini kita menghayati serta menikmati (secara transdental) kualitas bentuk karya sehingga menimbulkan sensasi kenikmatan serta perasaan yang menyenangkan. Proyeksi perasaan dari pengamat bersifat subyektif, sementara kualitas tata bentuk obyek yang diamati bersifat obyektif. Dalam peristiwa ini telah terjadi interaksi perseptual antara kualitas obyektif karya dengan subyektif dari pengamat. Pada dasarnya seni memang sengaja diciptakan untuk berkorespondensi dan berinteraksi dengan perasaan estetis manusia, sehingga menimbulkan kesadaran apresiasi aktif baik yang menyenangkan, mengharukan, menggelikan atau menakutkan bahkan memuakkan. Dengan begitu seniman dituntut kreatif dan komunikatif.



Selasa, 01 Juli 2008

kejadian unik di sekolah

30 Siswi SMK Harapan Massa Depok Kesurupan
Jum'at, 10 Agustus 2007 | 13:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sebanyak 30 siswi Sekolah Menengah Kejuruan Farmasi Harapan Massa Kecamatan Beji, Depok, mengalami kesurupan saat mengikuti proses kegiatan belajar mengajar, Jumat (10/8).


Wakil Kepala Sekolah SMK Farmasi Harapan Massa, Surfi Setiadi, menjelaskan sebenarnya kesurupan terjadi sejak Kamis (9/8) sore, saat siswi sekolah itu berlatih paskibra untuk persiapan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, pada 17 Agustus nanti.

"Saat itu (Kamis) ada tiga siswi yang tiba-tiba aneh dan kesurupan," kata Surfi kepada wartawan di SMK Harapan Massa yang berlokasi di Perumahan Depok Indah II Blok 6 Nomor 15, Beji, Depok.

Kesurupan massal berlanjut pada Jumat pagi pukul 07.15. Menurut Surfi, sebanyak 30 siswi secara bergelombang mengalami kesurupan. Mereka berteriak dan mengamuk tidak karuan.

Sekolah mendatangkan para ustadz untuk memulihkan para siswi yang kesurupan. Para guru dan siswa laki-laki juga ikut membantu menenangkan suasana yang saat itu tampak kacau.

Berdasarkan pengamatan Tempo, ada lima siswi yang berteriak histeris sambil meronta-ronta saat dipegangi rekan-rekan dan gurunya. Bahkan, ada diantara mereka yang terjatuh pingsan dan dipapah menuju ruang sekolah.

Ada kejadian unik. Seorang siswi yang kesurupan menjerit dan mengamuk ketika seorang wartawan hendak mengabadikan kejadian itu dengan kameranya. Saat wartawan menjepret kameranya, si siswi tadi langsung mengumpat dan meminta si wartawan keluar dari area sekolah. Suasana semakin kacau lantaran siswi lainnya masih kesurupan. Sesekali mengamuk.

Kesurupan massal mengundang rasa penasaran masyarakat. Puluhan warga setempat berdatangan menyaksikan kejadian itu. Anggota Polsek Beji ikut mengamankan area sekolah. Suasana mulai tenang pada pukul 11.30 menjelang Shalat Jumat.

Menurut keterangan yang dihimpun Tempo, kesurupan massal di sekolah itu dipicu antara lain karena adanya pembangunan gedung dua lantai di area sekolah itu, tanpa disertai acara syukuran.

Ibu Linda, 60 tahun, warga yang bermukim di sekitar sekolah itu menuturkan, dalam setahun pasti terjadi kesurupan yang menimpa siswa SMK Farmasi Harapan Massa. "Saya hitung sudah empat kali kesurupan tahun ini," kata Linda. Selain itu, kata Linda, ada pohon bacang di area sekolah itu yang diduga dihuni makhluk halus sebangsa jin yang merasa terusik.Sandy Baskoro

nilai-nilai pendidikan di indonesia

Pendidikan di Indonesia Belum Menyentuh Pembangunan Karakter Bangsa

Pembangunan pendidikan yang kini berjalan, nampaknya belum memberikan hasil yang signifikan dalam membawa masyarakat ke arah yang lebih baik dalam hal membangun
karakter bangsa. Sulitnya memberantas KKN, pelecehan terhadap nilai-nilai demokratisasi, merendahnya sensivitas sosial dan lingkungan, semuanya merupakan contoh kasus yang mengemuka di hadapan kita semua.

Demikian diungkapkan Wakil Gubernur Jawa Barat, Nu?man Abdul Hakim, dihadapat 700 peserta Seminar bertajuk Urgensi Kebijakan Strategis Pendidikan Islam dalam
Membangun Karakter Bangsa, di Aula Musaddadiyah Garut, Sabtu (16/12). Dihadiri Dirjen Pendidikan IslamYahnya Umar, Phd, Kakanwil Depag Propinsi Jawa Barat Muaimin Luthfie, serta Kadisdik Kabupaten Garut Dr.h. Maman Rusmana, M.Pd, serta para undangan lainnya.

Di sisi lain, sambung Nu?man, arus budaya luar yang mengimbas bangsa kita, secara tidak sadar menggiring masyarakat kepada perilaku dan gaya hidup yang serba
berlebihan, seperti hedonisme dan konsumerisme. ?Tidak heran jika Gap kaya-miskin semakin lebar?, Ujrnya.

Secara materi, mungkin unsur-unsur karakter bangsa sudah yang tertuang dalam kurikulum, namun dalam konteks proses pendidikan untuk memberntuk karakter bangsa
secara benar tampaknya selama ini kurang atau bahkan tidak diperhatikan dengan seksama. Contohnya, pendidikan Pancasila yang diwujudkan dalam mata ajaran sejak sekiolah dasar hingga perguruan tinggi. Penyampaian yang serba verbalitas, secara signifikan ternnyata tidak membentuk karakter bangsa.

Mengutif dari saran UNESCO dalam memahami fenomena tersebut, tambah Nu?man, bahwa pendidikan mesti mengandung tiga unsur, yaitu : unsur Learn to Know (belajar
untuk tahu) dan Learn to Do (belajar untuk berbuat) yang lebih terarah membentuk having agar SDM memiliki kualitas dalam pengetahuan dan skill, sedangkan unsur
ketiga learn to live together yang lebiih mengarah kepada being menuju pembentukan karakter bangsa.

Pemikiran tersebut, jelas Nu?man, sejalan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, diarahkan kepada pembentukan manusia Indonesia yang berilmu pengetahuan, berakhlak mulia dan berkepribadian tinggi.

Menurut Nu?man, dalam kaitannya sebenarnya ada nilai-nilai ajaran moral yang lebih luhur berasal dari ajaran samawi, diturunkan dalam kemasan yang lengkap dan sempurna. Nilai-nilai yang diajarkan tiada lain diantaranya nilai kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan kepedulian terhadap sesama. Nilai-nilai itu terangkum dalam ajaran / pendidikan Islam.

Oleh karena itu, jika dicermati, nilai-nilai itu menjadi sangat penting dalam rangka membangkitkan rasa nasionalisme, penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara, pemahaman hak asasi secara benar, menghargai perbendaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, serta pengembangan sensitivitas
atau kepedulian sosial dan lingkungan, semuanya adalah unsur pendidikan Islam melalui belajar untuk hidup bersama.

Sementara itu Ketua Yauasan Al Musaddadiyah, KH. Cecep Abdul Halim, Lc, selaku penyelenggara seminar mengatakan, salah satu model pendidikan di Indonesia yang
sudah cukup mengakar di masyarakat pedesaan khususnya pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didasarkan atas kekuatan spiritual Islam telah mampu
memberi saksi perubahan masyarakat ke arah pembangunan sesuai kewibawaan tradisional kepemimpinan dan kekhasan setiap pondok pesantren itu sendiri.

Kegiatan ini, ujar cecep Abduk Halim, dilakukan atas dasar berbagai persoalan dasar realitasyang terjadi di lingkungan pendidikan kita yang harus segera kita sikapi secara bersama, bekerja sama dan kebersamaan dalam memformat alternatif solusi. Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 31 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang semestinya ditopan infrastuktur dan sufrastruktur pendidikan yang memberdayakan dan memandirikan.

Namun seringkali terjadi kesenjangan antara pendidikan agama dan umum, status kelembagaan, sarana dan prasarana, bahkan nampak instansi pemerintahan dari
Depdiknas dan Depag Bidang Pendidikan Islam yang bertanggung jawab dalam pendidikan anak bangsa, satu sama lain seakan melempar tanggung jawab atas layanan
pendidikan di setiap warga. Untuk itu Yayasan Al - Musadaddiyah Garut, sebagai lembaga pendidikan dengan anak didiknya mulai TK hingga perguruan tinggi mecapai
5.000 orang, selain lembaga dakwah dan sosial kemasyarakatan, diharapkan dapat memberikan alternatif bagi penguatan kelembagaan pendidikan Islam khususnya di lingkungan Depag yang mampu memberikan pelayanan bidang pendidikan bagi warga masyarakat serta bagi peningkatan kualitas pendidikan bangsa. Setidaknya upaya
ini dapat mendukung akselerasi pencapaian visi Jawa Barat kshusunya bidang pendidikan menjadi propinsi terunggul Tahuin 2010 melalui penuntasan Wajardikdas 9 tahun.

Seminar ini diikuti perwakilan dari wilayah priangan terdiri dari alim ulama, pimpinan ponpes, kepala madrasah (mulai tingkat MI, MTs, MA) dan stake holder pendidikan Islam yang diwaikli beberapa kabupaten/kota (Bandung, Cimahi, kabupaten Sumedang, Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Garut).

Diharapkan dengan kegiatan ini dapat terinspirasi dan termotivasi dalam melakukan aksi konstruktif sebagai langkah strategis dalam penguatan kelembagaan Islam untuk menjawab problematikan bangsa dan negara.

Senin, 09 Juni 2008

ESENSIALISME DAN PERENIALISME

Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.

Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.

Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.

Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.

Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:

1. Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)

2. Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)

3. Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)

Adapun norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama.Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai – nilai atau prinsip – prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.


PANDANGAN MENGENAI KENYATAAN
Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa “reality is universal that is every where and at every moment the same “ (2:299) “ realita itu bersifat universal bahwa realita itu ada di mana saja dan sama di setiap waktu.� Dengan keputusan yang bersifat ontologism kita akan sampai pada pengertian – pengerian hakikat. Ontologi perenialisme berisikan pengertian : benda individual, esensi, aksiden dan substansi.
• Benda individual adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat ditangkap oleh indera kita seperti batu, kayu,dll
• Esensi dari sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik intrinsic daripada halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah berpikir
• Aksiden adalah keadaan khusus yang dapat berubah – ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka barang – barang antic
• Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap –tiap hal individu dari yang khas dan yang universal, yang material dan yang spiritual.
Menurut Plato, perjalanan suatu benda dalam fisika menerangkan ada 4 kausa.
• Kausa materialis yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda misalnya telor, tepung dan gula untuk roti
• Kausa formalis yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya, misalnya bulat, gepeng, dll
• Kausa efisien yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa – tergesa,dll
• Kausa finalis adalah tujuan atau akhir dari sesuatu. Katakanlah tujuan pembuatan sebuah patung.

PANDANGAN MENGENAI NILAI
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar – dasar teologis, ketuhanan.

PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN
Kepercayaan adalah pangkal tolak perenialisme mengenai kenyataan dan pengetahuan. Artinya sesuatu itu ada kesesuaian antara piker (kepercayaan) dengan benda – benda. Sedang yang dimaksud benda adalah hal – hal yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian.Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil – dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, Prinsip – prinsip itu dapat dirinci menjadi :
• Principium identitatis, yaitu identitas sesuatu. Contohnya apabila si Bopeng adalah benar – benar si Bopeng ia todak akan menjadi Si Panut.
• Principium contradiksionis ( prinsipium kontradiksionis), yaitu hukum kontradiksi (berlawanan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu kenyataan yakni benar atau salah.
• Principium exelusi tertii (principium ekselusi tertii), tidak ada kemungkinan ketiga. Apabila pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti pernyataan kedua benar dan sebaliknya apabila pernyataan pertama benar pasti pernyataan yang berikutnya tidak benar.
• Principium rationis sufisientis. Prinsip ini pada dasarnya mengetengahkan apabila barang sesuatu dapat diketahui asal muasalnya pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.
Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat.
• Science sebagai ilmu pengetahuan
Science yang meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang disebut sebagai “empiriological analysis� yakni analisa atas individual things dan peristiwa – peristiwa pada tingkat pengalaman dan bersifat alamiah. Science seperti ini dalam pelaksanaan analisa dan penelitiannya mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga mempergunakan metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan mencoba dengan data tertentu yang bersifat khusus.
• Filsafat sebagai pengetahuan
Menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah “ilmu� metafisika. Sebab, science dengan metode induktif bersifat empiriological analysis (analisa empiris); kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat ontological analysis, kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum – hukum berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama; bahwa kesimpulannya bersifat mutlak, asasi. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa empiris dan analisa ontology keduanya dianggap perenialisme dapat komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum –hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan.

Progresivisme

Progravisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri (Barnadib, 1994:28). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.

Hal ini karena progrevisme memandang manusia sebagai makhluk yang bebas, aktif, dinamis, dan kreatif. Kedudukan manusia penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban. Dengan kemampuan fikiran yang diberikan Tuhan, manusia mampu mampu menciptakan berbagai ilmu pengetahuan, kesenian dan sarana untuk menghasilkan perubahan dan perkembangan (progress), artinya dalam meninjau kebudayaan dan pendidikan, progrevisme mengutamakan tinjauan ke depan dari pada masa lalu (Barnadib, 1996:62).

Untuk menjelaskan pandangan progravisme, misalkan kita ambil contoh dari antropologi, disini dapat dipelajari bahwa manusia membentuk masyarakat, mengembangkan kebudayaan, dan telah berhasil untuk terus membina kehidupan dan persdaban dan selalu diupayakan untuk mendapatkan kemajuan.

Dari psikologi dapat dipelajari bahwa manusia mempunyai akal budi. Dengan kemampuan berfikirnya dan pengembangan imajinasinya ternyata manusia mampu kreatif untuk meringankan hidupnya dengan ciptaannya. Semuanya itu digunakan untuk meraih kemajuan dalam kehidupannya (Barnadib, 1996:19).

Kebenaran menurut pandangan progrevisme adalah sesuatu yang rasional yang dapat membawa kepada kemajuan atau progress. Sefhubungan dengan ini ide-ide, teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada dan mengandung nilai kebenaran, tetapi yang ada dan benar secara ilmiah haruslah dicari artinya dan diimplikasikan bagi suatu kemajuan perkembangan ilmu.

Untuk itulah progrevisme mengadakan perbedaan anatara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengerahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu, yang mungkin keadaannya kacau Barnadib, 1996:31).

Esensialisme

Esensialisme dalam memandang kebudayaan dan pendidikan berbeda dengan progrevisme, kalau progrevisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang, esensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat karena fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu (Barnadib, 1996:38).

Di samping itu esensialisme memandang manusia sebagai mahluk budaya, artinya keberadaan manusia mempunyai peranan sebagai penghayat, pelaksana, dan sebagai pengembang kebudayaan. Dalam kehidupannya manusia dilingkupi oleh nilai dan norma budaya, agar kehidupan manusia bermakna dan mantap perlu berlandaskan pada nilai dan norma budaya yang mantap, telah teruji oleh waktu.

Makna atau nilai kebenaran ilmiah yang dikemukakan aliran ini sebagaimana yang diungkapkan Richard Pratte (1977:139), adalah sikap konservatisme kefilsafatan, artinya bahwa kebenaran yang dilakukan manusia adalah relatif karena ketidaksempurnaan manusia,. Tapi setidaknya kebenaran yang dilakukan menurut teori ini adalah kemampuan manusia mengembangkan norma dan nilai yang mewarnai kebudayaan--termasuk pendidikan--, sehingga tidak dengan mudah meninggalkan prestasi serta produknya (kebudayaan, norma, dan nilai termasuk sebagian dari produk dan prestasi itu).

Ini menunjukkan bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan dan ide-ide. Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas, yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri (Butler, 1951:161).

Disinilah fungsi pendidikan dalam berbagi bentuk dan manifestasinya yang senantiasa berkembang an berubah, merupakan refleksi dari kebudayaan mengantarkan manusia ke dalam fikiran dan alam modern yang ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Perenialisme

Perenialisme dalam memandang keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan (Barnadib, 1996:59).

Sesuai dengan asal katanya, yaitu perenial: hal-hal yang ada sepanjang masa, perenialisme mengikuti tradisi perkembangan intelektuali akademik yang ada pada dua zaman, Yunani dan abad pertengahan. hal-hal yang ada sepanjang masa inilah yang perlu digunakan untuk menatap kehidupan sekarang yang penuh dengan liku-liku (Pratte,1977:166). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perenialisme bersifat regresif, artinya kembali kepada kebenaran yang sesungguhnya sebagaimana telah diletakkkan dasarnya oleh para filosof zaman lampau.

Motif dengan mengambil jalan regresif bukan hanya nostalgia atau rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, malainkan berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan abad ini (Barnadib, 1996:59).

Dalam memandang pengetahuan, perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dan benda-benda (Barnadib, 1996:67). Maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. Hal ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu, artinya telah memenuhi syarat-syarat logis dan memiliki evidensi diri bagi pengertian yang dirumuskan.

Rekonstruksionisme

Aliran ini memandang manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tumbuh dan berkembang dalam keterkaitannya dengan proses sosial dan sejarah dari pada masyarakat. Pendidikan mempunyai peranan untuk menadnakan pembaharuan dan pembangunan masyarakat (Barnadib, 1996:63).

Perkembangan ilmu dan tehnologi tidak memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakat, namun juga membawa dampak negatif. Masyarakat yang hidup damai berangsur-angsur diganti oleh masyarakat yang coraknya tidak menentu, tiada kemantapan, dan yang lebih penting dari itu lepasnya individu dalamketerkaitannya dengan masyarakat serta adanya keterasingan, hal ini menciptakan budaay hegemoni sebagai ideologi.

George F. Kneller (1984:195) membuat ikhtisar pandangan Michael W. Apple tentang ideologi yang dimaksud ada 3 unsur, (1) pandangan bahwa kemajuan itu tergantung dari sains dan industri, (2) suatu kepercayaan dalam masyarakat bahwa agar orang mampu menyumbangkan jasanya dalam masyarakat kompetitif, (3) kepercayaan bahwa hidup yang memadai sama dengan menghasilkan dan mengkonsumsikan barang dan jasa bagi masyarakat . Sehingga menurut Apple ketiganya tercermin dalam kurikulum sekolah. Agar keadaan masyarakat dapat diperbaiki, pendidikan menjadi wahana penting untuk rekonstruksi.

Hal tersebut yang menyebabkan tumbuhnya pikiran kritis rekonstruksionisme yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan rekonstruksi sebagai tujuan mencari titik kebenaran melalui lembaga pendidikan.

Kamis, 10 April 2008

diskusi 1

saya lebih setuju dengan pengertian pendidikan yang pertama,karena pendidikan tidak hanya semata-mata proses belajar mengajar saja,tapi dapat di berikan pendidikan dari luar lingkungan formal saja.hal tsb dapat menjadikan seseorang lebih mandiri,dan mempunyai pengalaman-pengalaman baru sehingga ia dapat survive dalam kehidupannya ataupun dalamkehidupanbermasyarakat dengan mencontoh dari pengalaman yang dy alami.

diskusi 1