Senin, 07 Juli 2008

ETIKA dalam Pendidikan Indonesia

ETIKA dalam Pendidikan Indonesia

Beranjak dari berbagai pemahaman mengenai paradigma pengajaran, hingga saat ini saya belum ingin mengatakan pengajaran itu sebagai pendidikan, Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan, perlu kiranya kita menengok ke dalam diri kita, mengingat kembali pengalaman-pengalaman saat kita diajar. Sejauh ini, pola pengajaran pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia cenderung mengarahkan peserta ajar untuk sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya baik.

Hal tersebut diperparah dengan diterapkannya sistem pemeringkatan nilai peserta ajar di akhir semester. “Kamu ranking berapa? Aku rangking satu dong.” Sebuah kalimat yang biasa kita dengar ketika pembagian rapor dilakukan. Ditambah lagi dengan ungkapan, “Anak ibu rangking berapa?” atau “Kamu tuh gimana sih, masa teman kamu bisa rangking 1 kamu gak bisa?”. Hal ini menggambarkan kepada bahwa justru pola pengajaran Indonesia saat ini lebih mengajarkan peserta ajarnya untuk berkompetisi yang pada akhirnya menimbulkan perilaku-perilaku buruk seperti mencontek, bekerja sama ketika ujian, dan perilaku lain yang pada intinya mengarah pada penghalalan segala cara agar memperoleh nilai yang baik, agar tidak dimarahi orang tua, dan agar diperhatikan pengajar yang pada akhirnya mereduksi proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan.

Pada sebuah diskusi mengenai adaptasi perubahan iklim melalui sektor pendidikan di Bogor beberapa waktu yang lalu, seorang peserta diskusi memaparkan pengalamannya belajar di sebuah institusi perguruan tinggi yang banyak mengajarkan tentang aspek-aspek lingkungan, namun dia merasa sistem pengajaran yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut belum, bila tidak ingin dikatakan tidak, mampu menumbuhkan dan mengembangkan kepekaan dan kesadaran peserta ajar pada lingkungan walaupun ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan. Lalu apa dan atau siapa yang salah? Objektifikasi peserta ajar, ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasi nilai-nilai etika lingkungan, sistem pengajaran, atau kurikulumnya yang salah?

Objektifikasi peserta ajar. Hal ini dimengerti bahwa selama ini, peserta ajar adalah objek atas transfer ilmu dari subjek yang bernama pengajar. Peserta ajar ,saat ini, jarang sekali dilibatkan dalam diskusi-diskusi atau diajak berdiskusi mengenai hal-hal yang mengarah pada pengembangan kreatifitas, kekritisan, dan kesadaran peserta ajar atas contoh- contoh kasus yang, harapannya, disampaikan oleh pengajar. Pengajar seperti melakukan teater monolog di mana peserta ajar duduk termangu menonton pengajarnya bermonolog.

Ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan. Tingkat kepakaran pengajar pada suatu bidang kadang kala membuat sang pengajar enggan untuk mentransformasikan hal-hal di luar bidang yang dikuasainya, terlebih lagi hal itu dianggap bertentangan dengan bidang yang digelutinya selama ini. Selain itu, hal tersebut pun terjadi karena sang pengajar pun belum memperoleh pengetahuan, atau belum mengaktualisasikan, nilai-nilai etika lingkungan, sehingga tentunya ia tidak mampu untuk mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan kepada peserta ajar.

Sistem pengajaran. Sebagaimana telah dijelaskan pada pengantar tulisan ini, sistem pengajaran di Indonesia saat ini hanya mampu membentuk peserta ajar menjadi robot-robot di mana orangtua sebagai pengendalinya dan pengajar sebagai benda yang memancarkan gelombang (kurikulum) untuk akhirnya ditangkap oleh sensor yang ada di otak peserta ajar. Akan baik kiranya bila orang tua mengarahkan anaknya untuk mengembangkan, kepekaan, kesadaran, wawasan dan kreatifitas anaknya terhadap nilai-nilai lingkungan dan didorong pula oleh pengajar dengan memberikan materi yang merangsang peserta ajarnya untuk kritis dan kreatif. Namun pada kenyataannya, saat ini hal itu masih sangatlah jarang ditemui, apalagi bila kita melihat di sekolah-sekolah maupun perguruan-perguruan tinggi negeri.

Kurikulumnya yang salah? Lancang memang bila saya memasuki wilayah yang notabene dikuasai oleh pemerintah dan lebih lancang lagi sepertinya bila saya menganggap kesalahan kurikulum ini adalah kesalahan pemerintah. Penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada tanggal 3 Juni 2005 merupakan langkah awal yang baik dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah awal terintegrasinya nilai-nilai etika lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun perlu kita ingat bahwa apapun kebijakan pemerintah yang dibuat, bila tidak diselaraskan dengan pencerabutan keadaan struktural sistem pendidikan Indonesia yang telah begitu mengakar dan sulit diubah, tidak akan mampu mengubah paradigma pendidikan Indonesia yang masih hanya mengedepankan transfer pengetahuan hingga saat ini.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Tentunya hal tersebut berpijak pada siapa kita. Bagian dari birokrasikah? Bagian dari akademisikah? Bagian dari orang tuakah? Bagian dari peserta ajarkah? Bagian dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kemasyarakatankah? Atau kita hanya menganggap sebagai seorang individu tanpa label? Apapun kita, lakukanlah langkah dan gerakan yang terbaik sesuai dengan label masing-masing agar nilai-nilai etika lingkungan dapat tertransformasi dengan baik sehingga bangsa Indonesia dan bangsa Bumi, serta makhluk hidup lainnya dapat melestarikan peradabannya.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga kita mampu menjadi bangsa yang terdidik dan mampu menjadi pendidik yang baik untuk anak - cucu kita.

“Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952)

ESTETIKA DALM PENDIDIKAN
















PENGERTIAN "estetika"? semula hanya terbatas pada renungan filsafat tentang seni. Ia membicarakan hal ikhwal seni keindahan dan cita rasa seni. Ajaran Plato mengatakan bahwa seni adalah pencarian dan penemuan secara spontan, wajar dan penuh kejujuran. Seni berkaitan dengan penemuan keselarasan (harmoni) yang sebenarnya ada pada diri semua orang. Seni berada pada alam pratendensi, diluar alam dunia aktual. Hekekat seni teletak dalam angan-angan, di dalam gambaran keindahan abadi yang sempurna. Pandangan Plato tersebut tergolong dalam estetika lama (Yunani) sebab perkembangannya dikemudian hari membuat estetika tidak hanya membicarakan masalah keindahan saja.Namun juga mencakup seni dan pengalaman estetis, karena baik seni dan keindahan dipandang sebagai gejala (fenomena) yang kongkrit dan dapat ditelaah secara empirit dan sistimatik ilmiah.

Pada umumnya orang beranggapan bahwa yang indah adalah seni atau bahwa seni adalah selalu indah, dan bahwa yang tidak indah bukanlah seni. Pandangan semacam ini akan menyulitkan masyarakat dalam mengapresiasi seni sebab seni tidak selalu harus indah, demikian pendapat Herbert Read.

Konsep bahwa seni selalu indah, bahwa seni adalah idealisasi dari alam oleh manusia (ars homo additus nature) seperti yang dianut kebudayaan Yunani kuno sebenarnya adalah salah satu dari yang ada. Ia berbeda dengan ideal seni Cina dan seni India yang cendrung kepada bentuk yang metafisik, abstrak, religius dan lebih bertumpu pada intuisi daripada rasio. Juga berlainan daripada ideal seni bangsa primitif, yang lebih dekat dengan perasaan takut pada gejala alam yang misterius serta keyakinan mereka akan adanya kekuatan gaib yang mengatur hidup mereka.

Seperti karya seni patung aprodite Yunani, patung Budha dari India dan patung berhala dari Irian Jaya adalah mengungkapkan ideal bentuk yang berbeda, sekalipun ketiganya tergolong cabang seni yang sama. Penampilan bentuk aprodite yang serba indah sempurna dan realistis, bentuk Budha yang wajar religius, maupun bentuk patung manusia primitif yang serba menkutkan dan tidak realistis (abstrak) semuanya secara sah dapat digolongkan menjadi karya seni.

Pada dasarnya seni bukanlah sekedar ekspresi dari setiap ideal yang spesifik dalam bentuk yang plastis. Seni adalah ekspresi dari semua ideal yang dapat diungkapkan oleh seniman kedalam tata bentuk plastis yang berkualitas estetis, baik yang serba menyenangkan maupun menakutkan, mengharukan bahkan memuakkan. Nampak bahwa seni tidak selalu mesti indah dan menyenangkan, keindahan harus diartikan sebagai kualitas abstrak yang merupakan landasan elementer bagi kegiatan artistik. Eksponen penting dalam kegiatan ini adalah manusia sedangkan kegiatannya diarahkan untuk menghayati serta menjiwai tata kehidupan (diantaranya termasuk kehidupan estetis).

Dalam peristiwa kegiatan terjadi tiga tahapan, pertama; proses pengamatan perseptual (indrawi) terhadap kualitas materi dari unsur-unsur gerak, warna suara, bentuk dan reaksi-reaksi fisiologis lain yang kompleks. Yang kedua; tata susunan dari kualitas materi tersebut yang tejalin secara organik dalam tatanan bentuk dan pola yang harmonis. Melalui kedua tahapan penghayatan tersebut muncullah kesadaran estetis.

Tahap yang ketiga adalah yang muncul apabila tata susunan yang harmonis tersebut dengan sengaja diciptakan untuk berkorespondensi dengan perasaan (emosi). Maka dapat dikatakan, bahwa emosi atau perasaan itu akan memberikan ekspresi sebagai unsur komunikasi . dalam hal inilah dikatakan bahwa seni adalah ekspresi dan bahwa tujuan sebenarnya dari seni adalah untuk mengkomunikasikan perasaan melalui tatanan bentuk plastis yang harmonis. Sedangkan arti dari keindahan, sebenarnya lebih mengacu pada perasaan yang dikomunikasikan lewat tata bentuk itu.

Sebenarnya unsur permanen dalam diri manusia yang berkorespondensi dengan unsur-unsur bentuk dari seni adalah kepekaan (perasaan) estetis. Jadi kepekaan estetis ini bersifat tetap, sedangkan yang bervariasi adalah pengertian-pengertian yang dibentuk manusia atas abstraksi terhadap impresi-impresi dari indrawi kehidupan unsur-unsur variasi dalam seni yakni apa yang dimaksud dengan ekspresi. Oleh karena ekspresi dipandang sebagai ungkapan gejala kejiwaan yaitu "The transformation af an element of sensation into the qualy of thing"? demikian G. santayana (The sense of beauty). Apabila orang melihat sesuatu obyek mengandung keindahan maka ia melihat dan merasakan adanya tatanan nilai yang harmonis baik dalam tata bentuk, tata warna, proporsi maupun susunan dari obyek.

Keindahan adalah kesadaran nilai yang muncul di dalam presepsi kita yang muncul sewaktu menanggapi ekspresi sesuatu obyek. Keindahan adalah unsur emosional sesuatu perasaan terpesona yang menyenangkan pada diri kita, yang ditimbulkan dari unsur-unsur karya keindahan merupakan kesadaran yang bersifat apresiatif, suatu sensasi yang membangkitkan kekaguman dan penghargaan.

Dari uraian diatas dapat diringkaskan bahwa sebenarnya terdapat konsep tentang "keindahan"?, yaitu konsep obyektif dan konsep subyektif.

Konsep obyektif beranggapan bahwa keindahan adalah sifat atau kualitas yang secara intern melekat pada suatu karya yang tidak tergantung kepada proses pengamatan/penafsiran. Keindahan adalah ciri dari suatu obyek yang ditimbulkan oleh adanya keserasian (harmoni) diantara bagian-bagiannya, sehingga memenuhi prinsip-prinsip tertentu.

Konsep subyektif menganggap bahwa keindahan sebenarnya hanya tanggapan perasaan dalam diri kita sewaktu mengamati karya yang harmonis tersebut. Jadi sangat tergantung kepada tanggapan kita masing-masing untuk menilai apakah karya tersebut indah atau tidak.

Teori/konsep Yunani lama lebih cendrung kepada konsep obyektif, dimana keindahan karya dapat dicapai apabila bagian-bagiannya dapat diatur secara harmonis berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Itulah sebabnya lahir "The great theory of beauty"? yang menerapkan prinsip matematika sebagi acuan keindahan arsitektur Yunani. Kita kenal apa yang disebut perbandingan sebagai acuan yang menetapkan standar keindahan karya, yang dapat menimbulkan perasaan puas untuk sementara waktu.

Sementara itu konsep seni Herbert Read dan Santayana berpegang kepada konsep modern, yang beranggapan bahwa "seni tidak selau indah menyenangkan"? ideal keindahan dapat bervariasi dan sangat tergantung kepada ideal dari tata nilai kehidupan. Keindahan adalah nilai (value) yang dibentuk citarasa perasaan manusia yang bersifat subyektif, sebagai tanggapan emosional terhadap kualitas bentuk suatu karya.

Adanya dua konsep yang saling berlawanan (obyektif-subyektif) yang saling berlawanan itu melahirkan konsep lain yang bersifat kompromi, yaitu teori "Einfhulung"? dari Friederick Vischer. Teori ini berasumsi bahwa dalam proses pengamatan suatu karya seni, kita sebenarnya tanpa disadari telah menempatkan diri kita sendiri ke dalam karya seni tersebut. Einfhulung berarti keadaan merasakan diri sendiri atau memproyeksikan diri ke dalam obyek dalam peristiwa ini kita menghayati serta menikmati (secara transdental) kualitas bentuk karya sehingga menimbulkan sensasi kenikmatan serta perasaan yang menyenangkan. Proyeksi perasaan dari pengamat bersifat subyektif, sementara kualitas tata bentuk obyek yang diamati bersifat obyektif. Dalam peristiwa ini telah terjadi interaksi perseptual antara kualitas obyektif karya dengan subyektif dari pengamat. Pada dasarnya seni memang sengaja diciptakan untuk berkorespondensi dan berinteraksi dengan perasaan estetis manusia, sehingga menimbulkan kesadaran apresiasi aktif baik yang menyenangkan, mengharukan, menggelikan atau menakutkan bahkan memuakkan. Dengan begitu seniman dituntut kreatif dan komunikatif.



Selasa, 01 Juli 2008

kejadian unik di sekolah

30 Siswi SMK Harapan Massa Depok Kesurupan
Jum'at, 10 Agustus 2007 | 13:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sebanyak 30 siswi Sekolah Menengah Kejuruan Farmasi Harapan Massa Kecamatan Beji, Depok, mengalami kesurupan saat mengikuti proses kegiatan belajar mengajar, Jumat (10/8).


Wakil Kepala Sekolah SMK Farmasi Harapan Massa, Surfi Setiadi, menjelaskan sebenarnya kesurupan terjadi sejak Kamis (9/8) sore, saat siswi sekolah itu berlatih paskibra untuk persiapan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, pada 17 Agustus nanti.

"Saat itu (Kamis) ada tiga siswi yang tiba-tiba aneh dan kesurupan," kata Surfi kepada wartawan di SMK Harapan Massa yang berlokasi di Perumahan Depok Indah II Blok 6 Nomor 15, Beji, Depok.

Kesurupan massal berlanjut pada Jumat pagi pukul 07.15. Menurut Surfi, sebanyak 30 siswi secara bergelombang mengalami kesurupan. Mereka berteriak dan mengamuk tidak karuan.

Sekolah mendatangkan para ustadz untuk memulihkan para siswi yang kesurupan. Para guru dan siswa laki-laki juga ikut membantu menenangkan suasana yang saat itu tampak kacau.

Berdasarkan pengamatan Tempo, ada lima siswi yang berteriak histeris sambil meronta-ronta saat dipegangi rekan-rekan dan gurunya. Bahkan, ada diantara mereka yang terjatuh pingsan dan dipapah menuju ruang sekolah.

Ada kejadian unik. Seorang siswi yang kesurupan menjerit dan mengamuk ketika seorang wartawan hendak mengabadikan kejadian itu dengan kameranya. Saat wartawan menjepret kameranya, si siswi tadi langsung mengumpat dan meminta si wartawan keluar dari area sekolah. Suasana semakin kacau lantaran siswi lainnya masih kesurupan. Sesekali mengamuk.

Kesurupan massal mengundang rasa penasaran masyarakat. Puluhan warga setempat berdatangan menyaksikan kejadian itu. Anggota Polsek Beji ikut mengamankan area sekolah. Suasana mulai tenang pada pukul 11.30 menjelang Shalat Jumat.

Menurut keterangan yang dihimpun Tempo, kesurupan massal di sekolah itu dipicu antara lain karena adanya pembangunan gedung dua lantai di area sekolah itu, tanpa disertai acara syukuran.

Ibu Linda, 60 tahun, warga yang bermukim di sekitar sekolah itu menuturkan, dalam setahun pasti terjadi kesurupan yang menimpa siswa SMK Farmasi Harapan Massa. "Saya hitung sudah empat kali kesurupan tahun ini," kata Linda. Selain itu, kata Linda, ada pohon bacang di area sekolah itu yang diduga dihuni makhluk halus sebangsa jin yang merasa terusik.Sandy Baskoro

nilai-nilai pendidikan di indonesia

Pendidikan di Indonesia Belum Menyentuh Pembangunan Karakter Bangsa

Pembangunan pendidikan yang kini berjalan, nampaknya belum memberikan hasil yang signifikan dalam membawa masyarakat ke arah yang lebih baik dalam hal membangun
karakter bangsa. Sulitnya memberantas KKN, pelecehan terhadap nilai-nilai demokratisasi, merendahnya sensivitas sosial dan lingkungan, semuanya merupakan contoh kasus yang mengemuka di hadapan kita semua.

Demikian diungkapkan Wakil Gubernur Jawa Barat, Nu?man Abdul Hakim, dihadapat 700 peserta Seminar bertajuk Urgensi Kebijakan Strategis Pendidikan Islam dalam
Membangun Karakter Bangsa, di Aula Musaddadiyah Garut, Sabtu (16/12). Dihadiri Dirjen Pendidikan IslamYahnya Umar, Phd, Kakanwil Depag Propinsi Jawa Barat Muaimin Luthfie, serta Kadisdik Kabupaten Garut Dr.h. Maman Rusmana, M.Pd, serta para undangan lainnya.

Di sisi lain, sambung Nu?man, arus budaya luar yang mengimbas bangsa kita, secara tidak sadar menggiring masyarakat kepada perilaku dan gaya hidup yang serba
berlebihan, seperti hedonisme dan konsumerisme. ?Tidak heran jika Gap kaya-miskin semakin lebar?, Ujrnya.

Secara materi, mungkin unsur-unsur karakter bangsa sudah yang tertuang dalam kurikulum, namun dalam konteks proses pendidikan untuk memberntuk karakter bangsa
secara benar tampaknya selama ini kurang atau bahkan tidak diperhatikan dengan seksama. Contohnya, pendidikan Pancasila yang diwujudkan dalam mata ajaran sejak sekiolah dasar hingga perguruan tinggi. Penyampaian yang serba verbalitas, secara signifikan ternnyata tidak membentuk karakter bangsa.

Mengutif dari saran UNESCO dalam memahami fenomena tersebut, tambah Nu?man, bahwa pendidikan mesti mengandung tiga unsur, yaitu : unsur Learn to Know (belajar
untuk tahu) dan Learn to Do (belajar untuk berbuat) yang lebih terarah membentuk having agar SDM memiliki kualitas dalam pengetahuan dan skill, sedangkan unsur
ketiga learn to live together yang lebiih mengarah kepada being menuju pembentukan karakter bangsa.

Pemikiran tersebut, jelas Nu?man, sejalan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, diarahkan kepada pembentukan manusia Indonesia yang berilmu pengetahuan, berakhlak mulia dan berkepribadian tinggi.

Menurut Nu?man, dalam kaitannya sebenarnya ada nilai-nilai ajaran moral yang lebih luhur berasal dari ajaran samawi, diturunkan dalam kemasan yang lengkap dan sempurna. Nilai-nilai yang diajarkan tiada lain diantaranya nilai kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan kepedulian terhadap sesama. Nilai-nilai itu terangkum dalam ajaran / pendidikan Islam.

Oleh karena itu, jika dicermati, nilai-nilai itu menjadi sangat penting dalam rangka membangkitkan rasa nasionalisme, penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara, pemahaman hak asasi secara benar, menghargai perbendaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, serta pengembangan sensitivitas
atau kepedulian sosial dan lingkungan, semuanya adalah unsur pendidikan Islam melalui belajar untuk hidup bersama.

Sementara itu Ketua Yauasan Al Musaddadiyah, KH. Cecep Abdul Halim, Lc, selaku penyelenggara seminar mengatakan, salah satu model pendidikan di Indonesia yang
sudah cukup mengakar di masyarakat pedesaan khususnya pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didasarkan atas kekuatan spiritual Islam telah mampu
memberi saksi perubahan masyarakat ke arah pembangunan sesuai kewibawaan tradisional kepemimpinan dan kekhasan setiap pondok pesantren itu sendiri.

Kegiatan ini, ujar cecep Abduk Halim, dilakukan atas dasar berbagai persoalan dasar realitasyang terjadi di lingkungan pendidikan kita yang harus segera kita sikapi secara bersama, bekerja sama dan kebersamaan dalam memformat alternatif solusi. Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 31 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang semestinya ditopan infrastuktur dan sufrastruktur pendidikan yang memberdayakan dan memandirikan.

Namun seringkali terjadi kesenjangan antara pendidikan agama dan umum, status kelembagaan, sarana dan prasarana, bahkan nampak instansi pemerintahan dari
Depdiknas dan Depag Bidang Pendidikan Islam yang bertanggung jawab dalam pendidikan anak bangsa, satu sama lain seakan melempar tanggung jawab atas layanan
pendidikan di setiap warga. Untuk itu Yayasan Al - Musadaddiyah Garut, sebagai lembaga pendidikan dengan anak didiknya mulai TK hingga perguruan tinggi mecapai
5.000 orang, selain lembaga dakwah dan sosial kemasyarakatan, diharapkan dapat memberikan alternatif bagi penguatan kelembagaan pendidikan Islam khususnya di lingkungan Depag yang mampu memberikan pelayanan bidang pendidikan bagi warga masyarakat serta bagi peningkatan kualitas pendidikan bangsa. Setidaknya upaya
ini dapat mendukung akselerasi pencapaian visi Jawa Barat kshusunya bidang pendidikan menjadi propinsi terunggul Tahuin 2010 melalui penuntasan Wajardikdas 9 tahun.

Seminar ini diikuti perwakilan dari wilayah priangan terdiri dari alim ulama, pimpinan ponpes, kepala madrasah (mulai tingkat MI, MTs, MA) dan stake holder pendidikan Islam yang diwaikli beberapa kabupaten/kota (Bandung, Cimahi, kabupaten Sumedang, Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Garut).

Diharapkan dengan kegiatan ini dapat terinspirasi dan termotivasi dalam melakukan aksi konstruktif sebagai langkah strategis dalam penguatan kelembagaan Islam untuk menjawab problematikan bangsa dan negara.

Senin, 09 Juni 2008

ESENSIALISME DAN PERENIALISME

Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.

Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.

Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.

Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.

Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:

1. Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)

2. Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)

3. Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)

Adapun norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama.Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai – nilai atau prinsip – prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.


PANDANGAN MENGENAI KENYATAAN
Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa “reality is universal that is every where and at every moment the same “ (2:299) “ realita itu bersifat universal bahwa realita itu ada di mana saja dan sama di setiap waktu.� Dengan keputusan yang bersifat ontologism kita akan sampai pada pengertian – pengerian hakikat. Ontologi perenialisme berisikan pengertian : benda individual, esensi, aksiden dan substansi.
• Benda individual adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat ditangkap oleh indera kita seperti batu, kayu,dll
• Esensi dari sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik intrinsic daripada halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah berpikir
• Aksiden adalah keadaan khusus yang dapat berubah – ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka barang – barang antic
• Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap –tiap hal individu dari yang khas dan yang universal, yang material dan yang spiritual.
Menurut Plato, perjalanan suatu benda dalam fisika menerangkan ada 4 kausa.
• Kausa materialis yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda misalnya telor, tepung dan gula untuk roti
• Kausa formalis yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya, misalnya bulat, gepeng, dll
• Kausa efisien yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa – tergesa,dll
• Kausa finalis adalah tujuan atau akhir dari sesuatu. Katakanlah tujuan pembuatan sebuah patung.

PANDANGAN MENGENAI NILAI
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar – dasar teologis, ketuhanan.

PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN
Kepercayaan adalah pangkal tolak perenialisme mengenai kenyataan dan pengetahuan. Artinya sesuatu itu ada kesesuaian antara piker (kepercayaan) dengan benda – benda. Sedang yang dimaksud benda adalah hal – hal yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian.Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil – dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, Prinsip – prinsip itu dapat dirinci menjadi :
• Principium identitatis, yaitu identitas sesuatu. Contohnya apabila si Bopeng adalah benar – benar si Bopeng ia todak akan menjadi Si Panut.
• Principium contradiksionis ( prinsipium kontradiksionis), yaitu hukum kontradiksi (berlawanan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu kenyataan yakni benar atau salah.
• Principium exelusi tertii (principium ekselusi tertii), tidak ada kemungkinan ketiga. Apabila pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti pernyataan kedua benar dan sebaliknya apabila pernyataan pertama benar pasti pernyataan yang berikutnya tidak benar.
• Principium rationis sufisientis. Prinsip ini pada dasarnya mengetengahkan apabila barang sesuatu dapat diketahui asal muasalnya pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.
Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat.
• Science sebagai ilmu pengetahuan
Science yang meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang disebut sebagai “empiriological analysis� yakni analisa atas individual things dan peristiwa – peristiwa pada tingkat pengalaman dan bersifat alamiah. Science seperti ini dalam pelaksanaan analisa dan penelitiannya mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga mempergunakan metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan mencoba dengan data tertentu yang bersifat khusus.
• Filsafat sebagai pengetahuan
Menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah “ilmu� metafisika. Sebab, science dengan metode induktif bersifat empiriological analysis (analisa empiris); kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat ontological analysis, kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum – hukum berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama; bahwa kesimpulannya bersifat mutlak, asasi. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa empiris dan analisa ontology keduanya dianggap perenialisme dapat komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum –hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan.

Progresivisme

Progravisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri (Barnadib, 1994:28). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.

Hal ini karena progrevisme memandang manusia sebagai makhluk yang bebas, aktif, dinamis, dan kreatif. Kedudukan manusia penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban. Dengan kemampuan fikiran yang diberikan Tuhan, manusia mampu mampu menciptakan berbagai ilmu pengetahuan, kesenian dan sarana untuk menghasilkan perubahan dan perkembangan (progress), artinya dalam meninjau kebudayaan dan pendidikan, progrevisme mengutamakan tinjauan ke depan dari pada masa lalu (Barnadib, 1996:62).

Untuk menjelaskan pandangan progravisme, misalkan kita ambil contoh dari antropologi, disini dapat dipelajari bahwa manusia membentuk masyarakat, mengembangkan kebudayaan, dan telah berhasil untuk terus membina kehidupan dan persdaban dan selalu diupayakan untuk mendapatkan kemajuan.

Dari psikologi dapat dipelajari bahwa manusia mempunyai akal budi. Dengan kemampuan berfikirnya dan pengembangan imajinasinya ternyata manusia mampu kreatif untuk meringankan hidupnya dengan ciptaannya. Semuanya itu digunakan untuk meraih kemajuan dalam kehidupannya (Barnadib, 1996:19).

Kebenaran menurut pandangan progrevisme adalah sesuatu yang rasional yang dapat membawa kepada kemajuan atau progress. Sefhubungan dengan ini ide-ide, teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada dan mengandung nilai kebenaran, tetapi yang ada dan benar secara ilmiah haruslah dicari artinya dan diimplikasikan bagi suatu kemajuan perkembangan ilmu.

Untuk itulah progrevisme mengadakan perbedaan anatara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengerahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu, yang mungkin keadaannya kacau Barnadib, 1996:31).

Esensialisme

Esensialisme dalam memandang kebudayaan dan pendidikan berbeda dengan progrevisme, kalau progrevisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang, esensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat karena fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu (Barnadib, 1996:38).

Di samping itu esensialisme memandang manusia sebagai mahluk budaya, artinya keberadaan manusia mempunyai peranan sebagai penghayat, pelaksana, dan sebagai pengembang kebudayaan. Dalam kehidupannya manusia dilingkupi oleh nilai dan norma budaya, agar kehidupan manusia bermakna dan mantap perlu berlandaskan pada nilai dan norma budaya yang mantap, telah teruji oleh waktu.

Makna atau nilai kebenaran ilmiah yang dikemukakan aliran ini sebagaimana yang diungkapkan Richard Pratte (1977:139), adalah sikap konservatisme kefilsafatan, artinya bahwa kebenaran yang dilakukan manusia adalah relatif karena ketidaksempurnaan manusia,. Tapi setidaknya kebenaran yang dilakukan menurut teori ini adalah kemampuan manusia mengembangkan norma dan nilai yang mewarnai kebudayaan--termasuk pendidikan--, sehingga tidak dengan mudah meninggalkan prestasi serta produknya (kebudayaan, norma, dan nilai termasuk sebagian dari produk dan prestasi itu).

Ini menunjukkan bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan dan ide-ide. Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas, yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri (Butler, 1951:161).

Disinilah fungsi pendidikan dalam berbagi bentuk dan manifestasinya yang senantiasa berkembang an berubah, merupakan refleksi dari kebudayaan mengantarkan manusia ke dalam fikiran dan alam modern yang ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Perenialisme

Perenialisme dalam memandang keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan (Barnadib, 1996:59).

Sesuai dengan asal katanya, yaitu perenial: hal-hal yang ada sepanjang masa, perenialisme mengikuti tradisi perkembangan intelektuali akademik yang ada pada dua zaman, Yunani dan abad pertengahan. hal-hal yang ada sepanjang masa inilah yang perlu digunakan untuk menatap kehidupan sekarang yang penuh dengan liku-liku (Pratte,1977:166). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perenialisme bersifat regresif, artinya kembali kepada kebenaran yang sesungguhnya sebagaimana telah diletakkkan dasarnya oleh para filosof zaman lampau.

Motif dengan mengambil jalan regresif bukan hanya nostalgia atau rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, malainkan berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan abad ini (Barnadib, 1996:59).

Dalam memandang pengetahuan, perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dan benda-benda (Barnadib, 1996:67). Maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. Hal ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu, artinya telah memenuhi syarat-syarat logis dan memiliki evidensi diri bagi pengertian yang dirumuskan.

Rekonstruksionisme

Aliran ini memandang manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tumbuh dan berkembang dalam keterkaitannya dengan proses sosial dan sejarah dari pada masyarakat. Pendidikan mempunyai peranan untuk menadnakan pembaharuan dan pembangunan masyarakat (Barnadib, 1996:63).

Perkembangan ilmu dan tehnologi tidak memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakat, namun juga membawa dampak negatif. Masyarakat yang hidup damai berangsur-angsur diganti oleh masyarakat yang coraknya tidak menentu, tiada kemantapan, dan yang lebih penting dari itu lepasnya individu dalamketerkaitannya dengan masyarakat serta adanya keterasingan, hal ini menciptakan budaay hegemoni sebagai ideologi.

George F. Kneller (1984:195) membuat ikhtisar pandangan Michael W. Apple tentang ideologi yang dimaksud ada 3 unsur, (1) pandangan bahwa kemajuan itu tergantung dari sains dan industri, (2) suatu kepercayaan dalam masyarakat bahwa agar orang mampu menyumbangkan jasanya dalam masyarakat kompetitif, (3) kepercayaan bahwa hidup yang memadai sama dengan menghasilkan dan mengkonsumsikan barang dan jasa bagi masyarakat . Sehingga menurut Apple ketiganya tercermin dalam kurikulum sekolah. Agar keadaan masyarakat dapat diperbaiki, pendidikan menjadi wahana penting untuk rekonstruksi.

Hal tersebut yang menyebabkan tumbuhnya pikiran kritis rekonstruksionisme yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan rekonstruksi sebagai tujuan mencari titik kebenaran melalui lembaga pendidikan.

Kamis, 10 April 2008

diskusi 1

saya lebih setuju dengan pengertian pendidikan yang pertama,karena pendidikan tidak hanya semata-mata proses belajar mengajar saja,tapi dapat di berikan pendidikan dari luar lingkungan formal saja.hal tsb dapat menjadikan seseorang lebih mandiri,dan mempunyai pengalaman-pengalaman baru sehingga ia dapat survive dalam kehidupannya ataupun dalamkehidupanbermasyarakat dengan mencontoh dari pengalaman yang dy alami.

diskusi 1

Jumat, 28 Maret 2008

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR …… /U/2004

TENTANG

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan.

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003

Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Standar kompetensi lulusan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap yang wajib dimiliki peserta didik untuk dapat dinyatakan lulus.

3. Standar isi adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan cakupan dan kedalaman materi pelajaran untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

4. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan prosedur dan pengorganisasian pengalaman belajar untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

5. Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kualifikasi minimal yang harus dipenuhi oleh setiap pendidik dan tenaga kependidikan.

6. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan prasyarat minimal tentang fasilitas fisik yang diperlukan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

7. Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pelaporan, dan pengawasan kegiatan agar tercapai efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.

8. Standar pembiayaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan biaya untuk penyelenggaraan satuan pendidikan.

9.Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan alat penilaian pendidikan.

10.Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

11.Badan Standardisasi dan Evaluasi Pendidikan adalah badan mandiri yang melakukan kegiatan standardisasi dan evaluasi pendidikan.

12.Lembaga evaluasi mandiri adalah lembaga evaluasi yang dibentuk oleh masyarakat dan/atau asosiasi profesi untuk melakukan evaluasi peserta didik, satuan, dan program pendidikan.

13.Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan.

BAB II

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Bagian Pertama

Fungsi

Pasal 2

Standar nasional pendidikan berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan, pengendalian, dan pengembangan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.

Pasal 3

(1). Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

(2). Standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan secara berkala sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan situasi yang dihadapi.

(3). Standar nasional pendidikan dikembangkan oleh Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan.

(4). Dalam pengembangan standar nasional pendidikan mengikutsertakan unsur pendidik dan tenaga kependidikan, asosiasi profesi, dunia usaha, industri, lembaga masyarakat dan unsur departemen terkait.

Bagian Kedua

Standar Isi dan Proses

Pasal 4

(1). Setiap satuan pendidikan wajib menggunakan standar isi yang meliputi cakupan dan kedalaman materi dan tingkat penguasaan kompetensi yang dituangkan kedalam kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran.

(2). Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar penyusunan kurikulum, buku teks, dan bahan ajar lainnya untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

(3). Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 5

(1). Setiap satuan pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan melaksanakan proses pendidikan yang membudayakan dan memberdayakan, demokratis dan berkeadilan, tidak diskriminatif dan menjunjung HAM, nilai keagamaan, budaya, dan kemajemukan.

(2). Proses pendidikan pada setiap satuan pendidikan diselenggarakan dengan memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas dan kemandirian peserta didik sesuai dengan perkembangan, kecerdasan, dan kemandirian dalam rangka pencapaian standar kompetensi lulusan.

(3). Setiap satuan pendidikan dalam melaksanakan proses pendidikan berpedoman pada kalender pendidikan untuk setiap satuan pendidikan, jumlah peserta didik per kelas, kinerja dan beban mengajar pendidik, kinerja dan beban konselor, serta kinerja dan beban tenaga kependidikan lainnya.

(4). Standar proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Standar kompetensi lulusan

Pasal 6

Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penentuan kelulusan untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Pasal 7

(1). Standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(2). Standar kompetensi lulusan pendidikan tinggi ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi.

Bagian Keempat

Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Pasal 8

(1). Standar pendidik dan tenaga kependidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan mencakup kualifikasi dan tingkat penguasaan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan.

(2). Pendidik dan tenaga kependidikan pada setiap jenjang dan jenis pendidikan wajib memenuhi kualifikasi pendidikan dan memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

(3). Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperoleh melalui pengalaman yang dapat disetarakan dengan kompetensi tertentu.

(4). Seseorang yang memiliki sertifikat kompetensi karena pengalaman kerjanya dapat menjadi pendidik atau tenaga kependidikan tanpa harus memiliki kualifikasi pendidikan

(5). Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup kompetensi akademik, profesional, dan sosial.

(6). Standar pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima

Standar Sarana dan Prasarana

Pasal 9

(1). Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup persyaratan minimal tentang lahan, ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi, ruang kegiatan pendidikan, perabot, alat dan media pendidikan, buku, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

(2). Standar sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam

Standar Pengelolaan

Pasal 10

(1). Standar pengelolaan mencakup persyaratan minimal pengelolaan organisasi pada satuan pendidikan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan kegiatan pendidikan dan sumberdaya pendidikan berupa ketenagaan, sarana dan prasarana, dan pembiayaan pendidikan.

(2). Standar pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar nasional pendidikan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.

(3). Standar pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan standar nasional pendidikan dengan memperhatikan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.

(4). Standar pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh

Standar Pendanaan

Pasal 11

(1). Standar pendanaan mencakup persyaratan minimal tentang biaya satuan pendidikan, prosedur dan mekanisme pengelolaan, pengalokasian, dan akuntabilitas penggunaan biaya pendidikan.

(2). Standar pendanaan terdiri atas biaya pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, dan manajemen penyelenggaraan serta peningkatan mutu pendidikan.

(3). Setiap satuan pendidikan wajib memenuhi standar pendanaan untuk menjamin terselenggaranya pelayanan pendidikan sesuai standar nasional pendidikan.

(4). Standar pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan

Standar Penilaian Pendidikan

Pasal 12

(1). Standar penilaian pendidikan mencakup persyaratan minimal tentang jenis penilaian, metode, prosedur, mekanisme, alat dan pemanfaatan hasil penilaian.

(2). Standar penilaian pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan

Badan Standardisasi dan Evaluasi Pendidikan

Pasal 13

(1). Dalam rangka pengembangan, pemantauan, pelaporan dan pencapaian standar secara nasional dibentuk Badan Standardisasi dan Evaluasi Pendidikan di tingkat pusat dan lembaga penjamin mutu pendidikan di tingkat provinsi.

(2). Kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi, tata kerja, dan keanggotaan Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Pasal 14

(1). Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan merupakan lembaga yang mandiri dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab kepada Presiden.

(2). Lembaga penjaminan mutu pendidikan merupakan lembaga yang mandiri dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab kepada Menteri.

Bagian Kesepuluh

Lembaga Evaluasi Mandiri

Pasal 15

(1). Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga evaluasi mandiri baik bersifat nasional ataupun daerah.

(2). Lembaga evaluasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

(3). Dalam melaksanakan evaluasi, lembaga evaluasi mandiri mengikuti sistem, mekanisme, prosedur, dan tata cara penilaian yang baku sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi dan Evaluasi Pendidikan.

(4). Lembaga evaluasi mandiri wajib memberikan laporan hasil evaluasi kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan yang dievaluasi.

BAB III

EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI

Bagian Pertama

Evaluasi

Pasal 16

(1). Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan secara berkala dan terbuka dalam rangka peningkatan mutu layanan pendidikan.

(2). Pemerintah melakukan evaluasi terhadap lembaga dan program pendidikan secara berkala dan terbuka dalam rangka peningkatan mutu layanan pendidikan.

(3). Evaluasi lembaga pendidikan meliputi peserta didik, sarana dan prasarana, pendidik, dan tenaga kependidikan, pendanaan, dan pengelolaan pendidikan.

(4). Evaluasi program pendidikan meliputi perencanaan dan keterlaksanaan program pendidik.

(5). Dalam melaksanakan evaluasi, Pemerintah dan pemerintah daerah mengikuti sistem, mekanisme, prosedur, dan tata cara penilaian yang baku sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan.

Pasal 17

(1). Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik dengan mengacu pada standar kompetensi .

(2). Evaluasi hasil belajar peserta didik bertujuan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar berdasarkan pada tahap perkembangan peserta didik.

(3). Evaluasi hasil belajar peserta didik dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan yang hasilnya dilaporkan kepada guru, sekolah, orang tua, pengelola pendidik dan masyarakat secara berkala.

(4). Evaluasi hasil belajar peserta didik ditujukan untuk memperbaiki proses pembelajaran, serta mengukur prestasi belajar peserta didik.

(5). Evaluasi hasil belajar peserta didik didasarkan pada prinsip objektivitas, keterbukaan, dan kejujuran.

(6). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh masing-masing satuan pendidik.

(7). Evaluasi hasil belajar peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dapat dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan, atau lembaga evaluasi mandiri.

(8). Evaluasi terhadap hasil belajar peserta pada akhir jenjang pendidikan ujian dilakukan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

Pasal 18

(1). Ujian akhir sekolah/madrasah mencakup semua mata pelajaran yang diselenggarakan oleh setiap jenis dan jenjang pendidikan

(2). Ujian akhir setiap jenis dan jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan dan standar penilaian pendidikan yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan.

(3). Biaya pelaksanaan ujian akhir ditanggung oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(4). Ketentuan mengenai ujian akhir setiap jenis dan jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 19

(1). Peserta didik dan warga belajar mandiri yang dinyatakan lulus dalam ujian akhir sekolah/madrasah berhak memperoleh ijazah.

(2). Ijazah peserta didik atau siswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan blanko yang baku secara nasional.

(3). Ketentuan mengenai ijazah sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Akreditasi

Pasal 20

(1). Akreditasi dilakukan untuk menentukan tingkat kelayakan program dan satuan pendidikan.

(2). Hasil akreditasi digunakan dan sebagai alat pembinaan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan layanan pendidikan.

(3). Akreditasi dilakukan atas prakarsa pemerintah dan/atau satuan pendidikan yang bersangkutan.

(4). Akreditasi diselenggarakan berdasarkan prinsip keadilan, obyektif, akuntabel, komprehensif, profesional, memandirikan, dan mandatori.

(5). Pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal yang mandiri.

(6). Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden atas usul Menteri.

(7). Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal menetapkan sistem, mekanisme, prosedur, kriteria, dan tata cara akreditasi.

(8). Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal menetapkan persyaratan kelembagaan akreditasi pendidikan yang didirikan oleh masyarakat dan/atau asosiasi profesi.

(9). Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria masukan, proses, dan keluaran yang mencakup:

a. Kurikulum dan proses pembelajaran;

b. Administrasi dan manajemen;

c. Organisasi kelembagaan;

d. Sarana dan prasarana;

e. Ketenagaan;

f. Pembiayaan;

g. Peserta didik;

h. Peran serta masyarakat; dan

i. Lingkungan/kultur satuan pendidikan.

Pasal 21

(1). Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga akreditasi pendidikan yang bersifat mandiri.

(2). Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

(3). Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan akreditasi sesuai dengan sistem, mekanisme, prosedur, kriteria, dan tata cara yang dikeluarkan oleh badan akreditasi yang dibentuk oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (4).

(4). Dalam melaksanakan kegiatannya lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengakuan kelayakan dari Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, atau Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal sesuai dengan kewenangannya.

(5). Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, atau Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal sesuai dengan kewenangannya, atas nama Menteri melakukan pengakuan dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga mandiri yang melakukan akreditasi.

Pasal 22

(1). Keanggotaan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Pendidikan Nonformal terdiri atas unsur pemerintah, perguruan tinggi, sekolah/madrasah/pesantren, asosiasi profesi, dan masyarakat.

(2). Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Pendidikan Nonformal bertanggung jawab kepada Menteri.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai badan akreditasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga

Sertifikasi

Pasal 23

(1). Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

(2). Warga belajar mandiri dapat memperoleh ijazah yang sama dengan pendidikan formal setelah lulus ujian yang dipersiapkan oleh Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan dan pelaksanaannya dilakukan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

(3). Sertifikat kompetensi diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap kompetensi pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi mandiri.

(4). Warga belajar mandiri dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang sama dengan pendidikan formal ataupun nonformal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi mandiri.

(5). Ketentuan mengenai ijazah dan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

BAB IV

KETENTUAN LAIN

Pasal 24

Dalam rangka mengantisipasi perkembangan pendidikan nasional yang memiliki keragaman dalam kualitas maupun kemampuan daerah, maka penerapan standar nasional pendidikan dilakukan secara bertahap dengan memprioritaskan aspek esensial yaitu tenaga kependidikan, pembiayaan dan peserta didik.

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 25

(1). Pada waktu diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini, semua ketentuan yang berhubungan dengan Standardisasi Nasional Pendidikan dinyatakan berlaku sepanjang belum diubah dengan Peraturan Pemerintah ini.

(2). Lembaga pendidikan, pendidik dan tenaga pendidikan, dan pengelola pendidikan secara bertahap menyesuaikan kepada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26

Semua peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan paling lambat 1 tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 27

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada Tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Diundangkan di Jakarta

Pada Tanggal

Menteri Negara Sekretaris Negara

Republik Indonesia,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR .. TAHUN ..

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR .… TAHUN .…

TENTANG

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

I. UMUM

Pembaharuan sistem pendidikan nasional yang diwujudkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menetapkan visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional serta strategi pembangunan pendidikan nasional. Kebutuhan warga negara Indonesia terhadap pendidikan nasional yang bermutu tinggi perlu diakomodasi dengan visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional serta strategi pembangunan pendidikan yang jelas dan tegas.

Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Misi pendidikan nasional adalah sebagai berikut:

1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;

2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;

3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;

4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.

Perwujudan visi dan misi pendidikan nasional memerlukan strategi pembangunan pendidikan nasional yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;

2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;

3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;

4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;

5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;

6. penyediaan sarana belajar yang mendidik;

7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;

8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;

9. pelaksanaan wajib belajar;

10.pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;

11.pemberdayaan peran masyarakat;

12.pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan

13.pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Visi dan misi pendidikan nasional, strategi pembangunan pendidikan nasional, fungsi dan tujuan pendidikan nasional, serta Pasal 35 UU No. 20 Tahun 2003 menjadi tonggak yang kuat dan kokoh untuk mencapai puncak keunggulan pendidikan nasional dan meraih hasil pendidikan nasional yang bermutu tinggi.

Sehubungan dengan hal-hal di atas perlu diupayakan agar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan distandardisasi secara nasional. Dengan adanya standar-standar yang baku dalam pendidikan merupakan jaminan untuk selalu berupaya meningkatkan mutu pendidikan secara berencana dan berkala.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Dalam menentukan standar kompetensi lulusan pendidikan keagamaan ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Persyaratan kualifikasi adalah prasyarat prajabatan dan penguasaan kompetensi adalah kelayakan.

Ayat (2)

Sertifikat kompetensi yang harus dimiliki pendidik dan tenaga kependidikan dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi.

Ayat (3)

Uji kompetensi yang dimaksud pada ayat ini meliputi uji kompetensi akademik, profesional, dan sosial.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Cukup Jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Lembaga evaluasi mandiri merupakan lembaga yang menguji peserta didik dalam mencapai kompetensi lulusan yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Ujian akhir merupakan hak semua peserta didik yang atau yang belajar mandiri untuk memperoleh ijazah sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi mengakreditasi pendidikan tinggi.

Badan Akreditasi Nasional Sekolah mengakreditasi pendidikan anak usia dini (TK dan RA) pendidikan dasar dan menengah (SD dan MI, SMP dan MTs, SMA dan MA, SMK dan MAK, dan bentuk lain yang sederajat.

Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal mengakreditasi pendidikan nonformal.

Mandiri yang dimaksud pada ayat ini adalah penyelenggaraan dan pengambilan keputusan akreditasi tidak dipengaruhi oleh siapapun.

Ayat (6)

Cukup Jelas.

Ayat (7)

Cukup Jelas.

Ayat (8)

Cukup Jelas.

Ayat (9)

Cukup Jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Masyarakat dan/atau organisasi profesi adalah masyarakat dan/atau organisasi profesi yang bergerak di bidang pendidikan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi melakukan pengakuan dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga mandiri yang melakukan akreditasi pendidikan tinggi.

Badan Akreditasi Sekolah Nasional Pendidikan melakukan pengakuan dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga mandiri yang melakukan akreditasi pendidikan dasar dan menengah.

Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal melakukan pengakuan dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga mandiri yang melakukan akreditasi pendidikan dasar dan menengah.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Ijazah pendidikan antara lain terdiri atas ijazah SD/MI dan bentuk lain yang sederajat, ijazah SMP/MTs dan bentuk lain yang sederajat, ijazah SMA/MA dan bentuk lain yang sederajat, ijazah SMK/MAK dan bentuk lain yang sederajat, ijazah akademik, ijazah profesi, ijazah vokasi, ijazah keagamaan, dan ijazah pendidikan khusus,

Ujian yang dilaksanakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi dilakukan dengan mengacu kepada komptensi lulusan yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan.

Format ijazah dibakukan secara nasional.

Ayat (2)

Warga negara yang belajar mandiri dapat mengikuti ujian untuk mendapatkan ijazah yang setara dengan jenjang pada Paket A, Paket B, dan Paket C pada jalur nonformal. Warga negara yang melaksanakan belajar mandiri tidak perlu memasuki program paket maupun persekolahan.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Cukup Jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Ditetapkan di Jakarta

Pada Tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Diundangkan di Jakarta

Pada Tanggal

Menteri Negara Sekretaris Negara

Republik Indonesia,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR .. TAHUN ..

Senin, 24 Maret 2008

STANDAR PENDIDIKAN DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:

  • Kompetensi pedagogik;
  • Kompetensi kepribadian;
  • Kompetensi profesional; dan
  • Kompetensi sosial.


Pendidik meliputi pendidik pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan.

Tenaga kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2006

TENTANG
STANDAR ISI
UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 8 ayat
(3), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (4), Pasal 12 ayat (2),
dan Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan
Tatakerja Kementrian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 62 Tahun 2005;
PERMENNO22TH2006.doc
2
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004
mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
Memperhatikan : Surat Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan
Nomor 0141/BSNP/III/2006 tanggal 13 Maret 2006
dan Nomor 0212/BSNP/V/2006 tanggal 2 Mei;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
Pasal 1
(1) Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang
selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal
dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan
minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
(2) Standar Isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada
Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2006
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2006

TENTANG
STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 27 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tatakerja
Kementrian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
Biro Hukum dan Organisasi 2006
2
Memperhatikan : Surat Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor
0141/BSNP/III/2006 tanggal 13 Maret 2006, Nomor
0212/BSNP/V/2006 tanggal 2 Mei, dan Nomor
0225/BSNP/V/2006 tanggal 10 Mei 2006;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK
SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
Pasal 1
(1) Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan
menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan
kelulusan peserta didik.
(2) Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan
menengah, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran,
dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.
(3) Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2003
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2006
TENTANG
PELAKSANAAN

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN
2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR
DAN MENENGAH DAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR KOMPETENSI
LULUSAN UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang : bahwa agar Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dapat
dilaksanakan di satuan pendidikan pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah secara baik, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional tentang Pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
2
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan
Tatakerja Kementrian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 62 Tahun 2005;
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 20/P Tahun 2005;
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah;
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI
PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN 2006
TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN
DASAR DAN MENENGAH DAN PERATURAN MENTERI
PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK
SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
Pasal 1
(1) Satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan
menetapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah
sesuai kebutuhan satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan
pada :
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 36 sampai dengan Pasal 38;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan Pasal 5 sampai dengan Pasal 18, dan Pasal 25
sampai dengan Pasal 27;
3
c. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
d. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah.
(2) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan
kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari Standar Isi sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
dan Standar Kompentesi Lulusan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
(3) Pengembangan dan penetapan kurikulum tingkat satuan pendidikan
dasar dan menengah memperhatikan panduan penyusunan kurikulum
tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
(4) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengadopsi atau
mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah yang disusun oleh BSNP.
(5) Kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh kepala
satuan pendidikan dasar dan menengah setelah memperhatikan
pertimbangan dari Komite Sekolah atau Komite Madrasah.
Pasal 2
(1) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menerapkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah mulai tahun ajaran
2006/2007.
(2) Satuan pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai menerapkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah paling
lambat tahun ajaran 2009/2010.
(3) Satuan pendidikan dasar dan menengah pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah yang telah melaksanakan uji coba kurikulum 2004 secara
4
menyeluruh dapat menerapkan secara menyeluruh Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah untuk semua tingkatan kelasnya
mulai tahun ajaran 2006/2007.
(4) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang belum melaksanakan uji
coba kurikulum 2004, melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah secara bertahap dalam waktu paling lama 3 tahun,
dengan tahapan :
a. Untuk sekolah dasar (SD), madrasah ibtidaiyah (MI), dan sekolah dasar
luar biasa (SDLB):
- tahun I : kelas 1 dan 4;
- tahun II : kelas 1,2,4, dan 5;
- tahun III : kelas 1,2,3,4,5 dan 6.
b. Untuk sekolah menengah pertama (SMP), madrasah tsanawiyah (MTs),
sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah
menengah kejuruan (SMK), madrasah aliyah kejuruan (MAK), sekolah
menengah pertama luar biasa (SMPLB), dan sekolah menengah atas
luar biasa (SMALB) :
- tahun I : kelas 1;
- tahun II : kelas 1 dan 2;
- tahun III : kelas 1,2, dan 3.
(5) Penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan setelah mendapat izin Menteri Pendidikan Nasional.
Pasal 3
(1) Gubernur dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan
menengah dan satuan pendidikan khusus, disesuaikan dengan kondisi
dan kesiapan satuan pendidikan di provinsi masing-masing.
(2) Bupati/walikota dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk
5
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan dasar,
disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan di
kabupaten/kota masing-masing.
(3) Menteri Agama dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan
madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), madrasah aliyah
(MA), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), disesuaikan dengan kondisi
dan kesiapan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) BSNP melakukan pemantauan perkembangan dan evaluasi pelaksanaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, pada
tingkat satuan pendidikan, secara nasional.
(2) BSNP dapat mengajukan usul revisi Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai dengan keperluan
berdasarkan pemantauan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 5
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah:
a. menggandakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, serta mendistribusikannya kepada setiap satuan pendidikan
secara nasional;
b. melakukan usaha secara nasional agar sarana dan prasarana satuan
pendidikan dasar dan menengah dapat mendukung penerapan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
6
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pasal 6
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan:
a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah, dan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan
pendidikan dasar dan menengah yang disusun BSNP, terhadap guru,
kepala sekolah, pengawas, dan tenaga kependidikan lainnya yang relevan
melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan/atau Pusat
Pengembangan dan Penataran Guru (PPPG);
b. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah, dan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan
pendidikan dasar dan menengah yang disusun BSNP kepada dinas
pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, dan dewan
pendidikan;
c. membantu pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam penjaminan mutu
satuan pendidikan dasar dan menengah agar dapat memenuhi Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, melalui LPMP.
Pasal 7
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional:
a. mengembangkan model-model kurikulum sebagai masukan bagi BSNP;
b. mengembangkan dan mengujicobakan model-model kurikulum inovatif;
c. mengembangkan dan mengujicobakan model kurikulum untuk pendidikan
layanan khusus;
d. bekerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau LPMP melakukan
pendampingan satuan pendidikan dasar dan menengah dalam
pengembangan kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah;
e. memonitor secara nasional penerapan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
7
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, mengevaluasinya, dan
mengusulkan rekomendasi kebijakan kepada BSNP dan/atau Menteri;
f. mengembangkan pangkalan data yang rinci tentang pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pasal 8
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi:
a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah, di kalangan lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK);
b. memfasilitasi pengembangan kurikulum dan tenaga dosen LPTK yang
mendukung pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Pasal 9
Sekretariat Jenderal melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah, kepada pemangku kepentingan umum.
Pasal 10
Departemen lain yang menyelenggarakan satuan pendidikan dasar dan
menengah :
a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah sesuai dengan kewenangannya dan berkoordinasi dengan
Departemen Pendidikan Nasional;
8
b. mengusahakan secara nasional sesuai dengan kewenangannya agar
sarana, prasarana, dan sumber daya manusia satuan pendidikan yang
berada di bawah kewenangannya mendukung pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
c. melakukan supervisi, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 11
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan :
a. Nomor 060/U/1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar;
b. Nomor 061/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Umum;
c. Nomor 080/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan; dan
d. Nomor 0126/U/1994 tentang Kurikulum Pendidikan Luar Biasa;
dinyatakan tidak berlaku bagi satuan pendidikan dasar dan menengah sejak
satuan pendidikan dasar dan menengah yang bersangkutan melaksanakan
Peraturan Menteri ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 12
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Juni 2006
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO